(tulisan ini pernah dimuat pada Berita PLN Edisi
Maret & April 1996)
MANAJEMEN
KONTRAK
Langkah selanjutnya setelah
diketahui prinsip-prinsip dan syarat-syarat kontrak menurut FIDIC adalah
bagaimana mengelola kontrak secara baik, atau lazim disebut sebagai Manajemen
Kontrak.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
pada suatu proyek konstruksi internasional terdapat 3 pihak yang terlibat,
yaitu Employer, Engineer serta Contractor.
Sebenarnya pihak-pihak yang terikat
pada kondisi kontrak FIDIC adalah 2 pihak, yaitu perjanjian antara Employer dan
Contractor. Engineer bukan merupakan pihak yang tercantum dan menandatangani
kontrak, namun keberadaan Engineer karena dilibatkan oleh Employer. Untuk itu
antara Engineer dan Employer terdapat suatu persetujuan atau kontrak terpisah,
yang lazim disebut sebagai Agreement of Engineering Service.
Engineer bertugas untuk mengelola
kontrak (antara Employer dan Contractor), dan bertindak atas nama Employer.
Namun (kecuali dinyatakan jelas dalam kontrak) Engineer tidak diijinkan untuk
melepaskan atau membebaskan kontraktor dari kewajiban-kewajibannya yang
tercantum dalam kontrak. Disamping itu untuk beberapa item aktivitas pada
pengelolaan kontrak, Engineer masih memerlukan persetujuan khusus dari Employer
sebelum bias memberikan instruksi atau perintah kepada kontraktor.
Hal-hal yang memerlukan persetujuan
khusus dari Employer tersebut secara detail tercantum pada klausul-klausul Part
II Conditions of Particular Application. Umumnya aktivitas yang memerlukan
persetujuan Employer terlebih dahulu berhubungan dengan tambahan biaya dan
perpanjangan waktu.
Contohnya pada kontrak pekerjaan
sipil PLTA Tanggari II , item-item yang memerlukan persetujuan Employer sebelum
dikeluarkan oleh Engineer adalah, antara lain :
-
Clause 4 : Penunjukan sub-contractor.
-
Clause 12 : Sertifikasi tambahan biaya akibat
unforeseen condition.
-
Clause 44 : Perpanjangan waktu.
-
Clause 58 : Perintah penggunaan Provisional Sum.
Sedangkan untuk masalah-masalah lain yang tidak
tercantum pada Condition of Contract tersebut, umumnya dikelola langsung oleh
Engineer dengan Contractor. Namun untuk setiap surat yang dikirimkan, baik dari
pihak Engineer maupun Contractor, pihak Employer harus mendapat tembusan
(Copy). Hal tersebut dimaksudkan agar pihak Employer dapat mengetahui semua
informasi yang berhubungan dengan pekerjaan konstruksi yang bersangkutan, serta
dapat mengantisipasi dan mengambil langkah-langkah yang perlu dalam pengelolaan
proyek. Namun surat-surat dari Engineer dan Employer yang biasanya berupa
laporan atau permohonan persetujuan, tidak ditembuskan copy nya kepada
Contractor. Demikian juga surat dari Employer kepada Engineer tidak pernah
ditembuskan kepada Contractor.
Dengan demikian jelas bahwa Contractor hanya
memperoleh instruksi dari Engineer yang telah ditunjuk oleh Employer untuk
mewakili. Artinya Employer tidak boleh langsung member instruksi kepada
Contractor. Semua instruksi atau perintah harus dilakukan lewat Engineer.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari Engineer
yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dari Contractor. Employer tentu
saja ikut menempatkan personilnya di lapangan. Tapi dalam jumlah yang lebih
sedikit karena tugasnya secara umum hanya berupa counter-check terhadap item-item
pekerjaan yang diawasi Engineer. Kehadiran personil dari Employer diperlukan
agar Employer dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika terdapat
masalah yang terkait dengan kontrak.
Dalam hal terjadi permasalahan tersebut, Employer dapat meminta penjelasan dari Engineer,
mendiskusikan pada rapat rutin atau khusus untuk mencari jalan keluar.
Dengan pola dimana Employer tidak langsung dapat
menegur Contractor tersebut apakah wewenang Employer akan berkurang atau
terbatas ? Dari satu sisi memang dengan adanya syarat-syarat kontrak FIDIC seolah-olah
Employer dirugikan. Tapi sebenarnya tidak demikian. Dengan adanya pembagian
wewenang seperti yang diatur FIDIC tersebut, pihak Employer akan mendapat
keuntungan. Karena proyek tersebut akan berlangsung lebih professional, efisien
dan transparan.
Misalnya dengan adanya Engineer, pihak Employer
tidak perlu lagi mempekerjakan tenaga pengawas yang banyak, baik tenaga
professional maupun sub-profesional, sehingga pada saat proyek selesai tidak
akan direpotkan dengan masalah penempatan tenaga kerja. Sehingga Employer dapat
berkonsentrasi membina tenaga kerja hanya pada bisnis inti (core-competency).
Disamping itu karena Engineer (meskipun dipekerjakan oleh Employer) wajib
bertindak adil (impartial), dengan sendirinya kemungkinan timbulnya kemelut
(dispute) antara Employer dan Contractor berkurang.
Namun tentunya fungsi dan peran Employer masih tetap
besar karena tidak semua wewenang Employer diserahkan kepada Engineer. Wewenang
yang terpenting masih tetap di tangan Employer, yaitu yang menyangkut wewenang
tambahan biaya (cost) serta perpanjangan waktu (extension of time).
OPTIMASI
BIAYA KONSTRUKSI
Pada dasarnya tujuan utama dari manajemen proyek
adalah mengelola suatu proyek, sedemikian rupa sehingga proyek yang bersangkutan
dapat selesai pada waktu yang ditentukan dengan biaya yang seoptimal/ serendah
mungkin dengan tidak mengurangi kualitas pekerjaan. Untuk mencapai tujuan
tersebut pihak proyek harus jeli memantau dari hari ke hari hal-hal yang
berlangsung di proyek, dan dapat menekan sampai seminimal mungkin tambahan
biaya yang harus dikeluarkan.
Secara umum pada suatu proyek terdapat beberapa
alasan yang dapat menyebabkan timbulnya tambahan biaya, yaitu sebagai berikut :
a.
Adanya perubahan lingkup atau perubahan
spesifikasi teknis pada satu atau beberapa item pekerjaan.
b.
Timbulnya kondisi yang tidak terduga
sebelumnya (unforeseeable condition).
c.
Keterlambatan pihak Employer atau
Engineer dalam memenuhi kewajibannya.
d.
Terlambatnya pemenuhan kewajiban oleh
pihak kontraktor lain.
Alasan-alasan penambahan biaya pada item-item di
atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Perubahan Lingkup Pekerjaan.
Misalnya pada suatu proyek PLTA, pada desain awal
yang tercantum pada dokumen kontrak antara Employer dan Contractor, bangunan
pipa pesatnya direncanakan berada di atas tanah. Dengan kondisi pipa pesat yang
berada di atas permukaan tanah, maka diperlukan penyangga (support) serta
expansion joint. Pada tahap pelaksanaan, setelah dicek ulang desain pipa pesat
tersebut diubah menjadi jenis pipa pesat yang ditimbun di dalam tanah. Adanya
perubahan desain tersebut menyebabkan lingkup pekerjaan berubah dan menimbulkan
tambahan biaya, misalnya Kontraktor akan mengajukan “klaim” terhadap support
& expansion joint yang talah dibelinya, biaya penimbunan tanah, biaya perubahan
spesifikasi pipa pesat. Kontraktor juga akan mengajukan klaim atas idle nya
peralatan yang telah disiapkan, serta pada saat yang sama mengajukan
perpanjangan waktu pekerjaan (Extension of time).
b.
Unforeseeable Conditiaon.
Kondisi ini umumnya terjadi pada pelaksanaan proyek
konstruksi teknik sipil yang besar dan sering tidak dapat dihindarkan. Misalnya
pada saat penggalian terowongan untuk pipa pesat pada proyek PLTA. Pada dokumen
kontrak ,sesuai informasi yang diberikan kepada semua peserta lelang, tertera
bahwa tanah atau batuan pada lokasi terowongan tersebut terbentuk dari batuan
berjenis baik. Namun pada saat pelaksanaan di lapangan terdapat sejumlah lokasi
pada terowongan yang batuannya lemah. Hal tersebut sering terjadi karena memang
pada tahap perencanaan (survey) tidak seluruh lokasi terowongan dibor. Akibat
terdapatnya perbedaan jenis batuan, yang lazim disebut sebagai unforeseeable
condition, akan menyebabkan timbulnya tambahan biaya serta perpanjangan waktu. Karena
dengan adanya kondisi yang tidak sesuai dengan tahap perencanaan tersebut,
kontraktor harus mengganti desain, merubah system support ,kehilangan waktu,
menambah atau mengganti dengan material yang lebih mahal, dan sebagainya.
c.
Keterlambatan Employer atau Engineer.
Salah satu kewajiban Employer adalah menyiapkan
lahan bagi kontraktor untuk memulai pekerjaan. Jika pada saat kontraktor mulai
bekerja atau melaksanakan mobilisasi, ternyata lahan belum bebas, maka
Kontraktor tidak bias memulai pekerjaan. Keterlambatan memulai pekerjaan akibat
lahan yang belum dibebaskan akan menyebabkan terlambatnya penyelesaian
pekerjaan. Hal tersebut akan menyebabkan timbulnya kerugian kontraktor ( antara lain mubazirnya proses mobilisasi,
temporary facility, tenaga kerja idle,
bunga bank dan sebagainya). Akibat dari kondisi tersebut, Kontraktor akan
mengajukan klaim yang menyebabkan membengkaknya biaya proyek, serta
terlambatnya penyelesaian kontrak.
Dari pihak Engineer hal yang sama dapat saja
terjadi. Salah satu tugas Engineer yang sangat penting pada kontrak pekerjaan
sipil adalah Engineer berkewajiban untuk menyiapkan gambar konstruksi dan
menyerahkannya kepada Kontraktor sesuai jadualnya. Jika terjadi keterlambatan
pada penyiapan dan penyerahan gambar maka kontraktor juga akan terlambat untuk
melaksanakan pekerjaan. Akibat berangkai akan terjadi jika suatu item pekerjaan
terlambat dimulai, karena akan mengganggu pekerjaan lain yang terkait. Untuk
mengatasi tersebut maka diperlukan perintah dari Engineer kepada Kontraktor
untuk melakukan percepatan (Akselerasi) pekerjaan. Tentunya tidak “gratis”,
Kontraktor akan mengajukan “klaim” yang biasanya cukup besar dalam
melaksanakannya. Sehingga biaya proyek membengkak.
d.
Terlambatnya Pemenuhan Kewajiban oleh
Kontraktor Lain.
Contoh dari kondisi ini misalnya pada suatu proyek
PLTA, untuk mencapai lokasi terowongan harus melalui “ Acces Road” yang harus diperbaiki atau dibangu
terlebih dahulu. Katakanlah misalnya nilai pekerjaan untuk memperbaiki “Access
Road” tersebut sebesar Rp 200 juta dikerjakan oleh kontraktor X. Sementara pekerjaanpenggalian terowongan pipa
pesat dikerjakan oleh kontraktor utama dengan nilai kontrak sebesar Rp 10
milyar. Pada saat kontraktor utama akan memulai pekerjaan di terowongan,
ternyata kontraktor X belum selesai memperbaiki access road dan terlambat
selama 10 hari.
Adanya keterlambatan selama 10 hari tersebut
merupakan hal yang sangat serius karena Employer terpaksa mengeluarkan biasa
Akselerasi bagi kontraktor utama selama sepuluh hari keterlambatan, belum lagi
berbagai klaim yang dikaitkan dengan nilai kontrak yang sebesar Rp 10 milyar.
Biaya tambahan yang timbul dapat mencapai ratusan juta rupiah. Sementara besar
denda yang dapat dikenakan kepada kontraktor X hanya sebesar 1 permil perhari
atau sebesar Rp 2 juta untuk keterlambatan selama 10 hari.
Dari contoh-contoh di atas dapatlah diketahui bahwa
banyak sekali penyebab atau kondisi yang menimbulkan pembengkakan biaya proyek.
Disinilah dapat dilihat betapa pentingnya peran dan tanggungjawab pihak
Employer yang bertugas untuk mengawasi dan mengendalikan proyek, yaitu agar
diperoleh optimasi pada biaya dan waktu pelaksanaan proyek tersebut.
Manajemen proyek yang terus menerus mengikuti dari
hari ke hari pelaksanaan proyeklah yang dapat segera mengantisipasi kemungkinan
timbulnya biaya atau keterlambatan. Kalau pada bagian depan tulisan ini
seolah-olah peran Employer akan berkurang dengan penerapan kontar model FIDIC,
sebenarnya pada kasus-kasus timbulnya pembengkakan biaya inilah Employer dapat
berbuat banyak untuk mengendalikannya. Employer misalnya dapat menghindari
sampai seminimal mungkin terjadinya perubahan lingkup pekerjaan, melakukan
antisipasi timbulnya “unforeseeable condition” pada kesempatan pertama,
memenuhi kewajiban Employer dan Engineer sesuai kontrak, serta menghindarkan
terjadinya keterlambatan suatu pekerjaan yang akan menghambat pekerjaan utama.
Dari kemampuan untuk melakukan optimasi biaya,
artinya agar tambahan biaya menjadi sesedikit mungkin tersebut serta proyek
dapat selesai tepat pada waktunya itulah terletak sumbangsih dan prestasi pihak
Employer. Karena hal tersebut secara langsung akan mengurangi biaya modal
(capital cost) untuk mewmproduksi tenaga listrik.
KESIMPULAN
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini dapatlah ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam
pelaksanaan suatu proyek konstruksi berskala besar, khususnya pekerjaan sipil,
sering ditemukan atau didapat hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya
(unforeseeable conditions) sehingga biasanya dialokasikan suatu dana cadangan
(contingency) untuk mengatasinya.
2. Kontrak
adalah suatu perjanjian yang mengikat pihak Employer dan Kontraktor untuk
mengerjakan suatu pekerjaan dengan syarat-syarat tertentu. Jika terjadi
perubahan syarat-syarat atau kondisi pekertjaan maka Kontraktor berhak untuk
mengajukan klaim tambahan biaya dan perpanjangan waktu pelaksanaan.
3. Berdasarkan
sifat pelaksanaan dan pembayarannya, maka kontrak dapat dibedakan atas kontrak
Lumpsum, Unit Price , Cost Plus, Turn-key, atau kombinasi dari jenis-jenis
kontrak. Masing-masing jenis kontrak tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing, dan dipilih sesuai dengan situasi yang ada.
4. FIDIC
telah menyususn syarat-syarat kontrak yang dari waktu ke waktu terus
disempurnakan oleh para ahli yang kompeten, dan merupakan syarat-syarat kontrak
yang paling banyak dipakai secara internasional. Dalam penyusunannya FIDIC
mengacu pada kaidah-kaidah legal, binding, morally justified, bertujuan agar
pelaksanaan proyek dapat berjalan professional, adil dan efisien.
5. Dalam
pengelolaan (manajemen) kontrak pada suatu proyek, terdapat3 pihak yang
terkait, yaitu pemilik proyek (Employer), konsultan pengawas (Engineer) dan
pelaksana (Contractor). Ketiga pihak terkait tersebut harus dapat bekerjasama
sesuai fungsi dan tugas masing-masing agar proyek dapat berjalan lancar,
efektif dan efisien.
6. Agar
suatu proyek dapat berjalan dan selesai secara tepat waktu, tepat biaya dan
sesuai mutu yang disyaratkan, pihak Employer harus jeli untuk melihat dan
mengantisipasi hal-hal yang dapat menghambat kelancaran proyek serta
menyebabkan pembengkakan biaya.
(habis)
----------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar