Selasa, 20 Agustus 2013

Bagian 4 dari 4 Tulisan : PERAN MANAJEMEN KONTRAK DALAM PROSES OPTIMASI BIAYA KONSTRUKSI



(tulisan ini pernah dimuat pada Berita PLN Edisi Maret & April 1996)
MANAJEMEN KONTRAK

Langkah selanjutnya setelah diketahui prinsip-prinsip dan syarat-syarat kontrak menurut FIDIC adalah bagaimana mengelola kontrak secara baik, atau lazim disebut sebagai Manajemen Kontrak.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada suatu proyek konstruksi internasional terdapat 3 pihak yang terlibat, yaitu Employer, Engineer serta Contractor.
Sebenarnya pihak-pihak yang terikat pada kondisi kontrak FIDIC adalah 2 pihak, yaitu perjanjian antara Employer dan Contractor. Engineer bukan merupakan pihak yang tercantum dan menandatangani kontrak, namun keberadaan Engineer karena dilibatkan oleh Employer. Untuk itu antara Engineer dan Employer terdapat suatu persetujuan atau kontrak terpisah, yang lazim disebut sebagai Agreement of Engineering Service.
Engineer bertugas untuk mengelola kontrak (antara Employer dan Contractor), dan bertindak atas nama Employer. Namun (kecuali dinyatakan jelas dalam kontrak) Engineer tidak diijinkan untuk melepaskan atau membebaskan kontraktor dari kewajiban-kewajibannya yang tercantum dalam kontrak. Disamping itu untuk beberapa item aktivitas pada pengelolaan kontrak, Engineer masih memerlukan persetujuan khusus dari Employer sebelum bias memberikan instruksi atau perintah kepada kontraktor.
Hal-hal yang memerlukan persetujuan khusus dari Employer tersebut secara detail tercantum pada klausul-klausul Part II Conditions of Particular Application. Umumnya aktivitas yang memerlukan persetujuan Employer terlebih dahulu berhubungan dengan tambahan biaya dan perpanjangan waktu.
Contohnya pada kontrak pekerjaan sipil PLTA Tanggari II , item-item yang memerlukan persetujuan Employer sebelum dikeluarkan oleh Engineer adalah, antara lain :
-          Clause 4     : Penunjukan sub-contractor.
-          Clause 12   : Sertifikasi tambahan biaya akibat unforeseen condition.
-          Clause 44   : Perpanjangan waktu.
-          Clause 58   : Perintah penggunaan Provisional Sum.

Sedangkan untuk masalah-masalah lain yang tidak tercantum pada Condition of Contract tersebut, umumnya dikelola langsung oleh Engineer dengan Contractor. Namun untuk setiap surat yang dikirimkan, baik dari pihak Engineer maupun Contractor, pihak Employer harus mendapat tembusan (Copy). Hal tersebut dimaksudkan agar pihak Employer dapat mengetahui semua informasi yang berhubungan dengan pekerjaan konstruksi yang bersangkutan, serta dapat mengantisipasi dan mengambil langkah-langkah yang perlu dalam pengelolaan proyek. Namun surat-surat dari Engineer dan Employer yang biasanya berupa laporan atau permohonan persetujuan, tidak ditembuskan copy nya kepada Contractor. Demikian juga surat dari Employer kepada Engineer tidak pernah ditembuskan kepada Contractor.
Dengan demikian jelas bahwa Contractor hanya memperoleh instruksi dari Engineer yang telah ditunjuk oleh Employer untuk mewakili. Artinya Employer tidak boleh langsung member instruksi kepada Contractor. Semua instruksi atau perintah harus dilakukan lewat Engineer.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari Engineer yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dari Contractor. Employer tentu saja ikut menempatkan personilnya di lapangan. Tapi dalam jumlah yang lebih sedikit karena tugasnya secara umum hanya berupa counter-check terhadap item-item pekerjaan yang diawasi Engineer. Kehadiran personil dari Employer diperlukan agar Employer dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika terdapat masalah yang terkait dengan kontrak.
Dalam hal terjadi permasalahan tersebut, Employer   dapat meminta penjelasan dari Engineer, mendiskusikan pada rapat rutin atau khusus untuk mencari jalan keluar.
Dengan pola dimana Employer tidak langsung dapat menegur Contractor tersebut apakah wewenang Employer akan berkurang atau terbatas ? Dari satu sisi memang dengan adanya syarat-syarat kontrak FIDIC seolah-olah Employer dirugikan. Tapi sebenarnya tidak demikian. Dengan adanya pembagian wewenang seperti yang diatur FIDIC tersebut, pihak Employer akan mendapat keuntungan. Karena proyek tersebut akan berlangsung lebih professional, efisien dan transparan.
Misalnya dengan adanya Engineer, pihak Employer tidak perlu lagi mempekerjakan tenaga pengawas yang banyak, baik tenaga professional maupun sub-profesional, sehingga pada saat proyek selesai tidak akan direpotkan dengan masalah penempatan tenaga kerja. Sehingga Employer dapat berkonsentrasi membina tenaga kerja hanya pada bisnis inti (core-competency). Disamping itu karena Engineer (meskipun dipekerjakan oleh Employer) wajib bertindak adil (impartial), dengan sendirinya kemungkinan timbulnya kemelut (dispute) antara Employer dan Contractor berkurang.
Namun tentunya fungsi dan peran Employer masih tetap besar karena tidak semua wewenang Employer diserahkan kepada Engineer. Wewenang yang terpenting masih tetap di tangan Employer, yaitu yang menyangkut wewenang tambahan biaya (cost) serta perpanjangan waktu (extension of time).

OPTIMASI BIAYA KONSTRUKSI
Pada dasarnya tujuan utama dari manajemen proyek adalah mengelola suatu proyek, sedemikian rupa sehingga proyek yang bersangkutan dapat selesai pada waktu yang ditentukan dengan biaya yang seoptimal/ serendah mungkin dengan tidak mengurangi kualitas pekerjaan. Untuk mencapai tujuan tersebut pihak proyek harus jeli memantau dari hari ke hari hal-hal yang berlangsung di proyek, dan dapat menekan sampai seminimal mungkin tambahan biaya yang harus dikeluarkan.

Secara umum pada suatu proyek terdapat beberapa alasan yang dapat menyebabkan timbulnya tambahan biaya, yaitu sebagai berikut :
 a.       Adanya perubahan lingkup atau perubahan spesifikasi teknis pada satu atau beberapa item pekerjaan.
b.      Timbulnya kondisi yang tidak terduga sebelumnya (unforeseeable condition).
c.       Keterlambatan pihak Employer atau Engineer dalam memenuhi kewajibannya.
d.      Terlambatnya pemenuhan kewajiban oleh pihak kontraktor lain.

Alasan-alasan penambahan biaya pada item-item di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a.   Perubahan Lingkup Pekerjaan.
Misalnya pada suatu proyek PLTA, pada desain awal yang tercantum pada dokumen kontrak antara Employer dan Contractor, bangunan pipa pesatnya direncanakan berada di atas tanah. Dengan kondisi pipa pesat yang berada di atas permukaan tanah, maka diperlukan penyangga (support) serta expansion joint. Pada tahap pelaksanaan, setelah dicek ulang desain pipa pesat tersebut diubah menjadi jenis pipa pesat yang ditimbun di dalam tanah. Adanya perubahan desain tersebut menyebabkan lingkup pekerjaan berubah dan menimbulkan tambahan biaya, misalnya Kontraktor akan mengajukan “klaim” terhadap support & expansion joint yang talah dibelinya, biaya penimbunan tanah, biaya perubahan spesifikasi pipa pesat. Kontraktor juga akan mengajukan klaim atas idle nya peralatan yang telah disiapkan, serta pada saat yang sama mengajukan perpanjangan waktu pekerjaan (Extension of time).

b.   Unforeseeable Conditiaon.
Kondisi ini umumnya terjadi pada pelaksanaan proyek konstruksi teknik sipil yang besar dan sering tidak dapat dihindarkan. Misalnya pada saat penggalian terowongan untuk pipa pesat pada proyek PLTA. Pada dokumen kontrak ,sesuai informasi yang diberikan kepada semua peserta lelang, tertera bahwa tanah atau batuan pada lokasi terowongan tersebut terbentuk dari batuan berjenis baik. Namun pada saat pelaksanaan di lapangan terdapat sejumlah lokasi pada terowongan yang batuannya lemah. Hal tersebut sering terjadi karena memang pada tahap perencanaan (survey) tidak seluruh lokasi terowongan dibor. Akibat terdapatnya perbedaan jenis batuan, yang lazim disebut sebagai unforeseeable condition, akan menyebabkan timbulnya tambahan biaya serta perpanjangan waktu. Karena dengan adanya kondisi yang tidak sesuai dengan tahap perencanaan tersebut, kontraktor harus mengganti desain, merubah system support ,kehilangan waktu, menambah atau mengganti dengan material yang lebih mahal, dan sebagainya.

c.    Keterlambatan Employer atau Engineer.
Salah satu kewajiban Employer adalah menyiapkan lahan bagi kontraktor untuk memulai pekerjaan. Jika pada saat kontraktor mulai bekerja atau melaksanakan mobilisasi, ternyata lahan belum bebas, maka Kontraktor tidak bias memulai pekerjaan. Keterlambatan memulai pekerjaan akibat lahan yang belum dibebaskan akan menyebabkan terlambatnya penyelesaian pekerjaan. Hal tersebut akan menyebabkan timbulnya kerugian kontraktor  ( antara lain mubazirnya proses mobilisasi, temporary  facility, tenaga kerja idle, bunga bank dan sebagainya). Akibat dari kondisi tersebut, Kontraktor akan mengajukan klaim yang menyebabkan membengkaknya biaya proyek, serta terlambatnya penyelesaian kontrak.
Dari pihak Engineer hal yang sama dapat saja terjadi. Salah satu tugas Engineer yang sangat penting pada kontrak pekerjaan sipil adalah Engineer berkewajiban untuk menyiapkan gambar konstruksi dan menyerahkannya kepada Kontraktor sesuai jadualnya. Jika terjadi keterlambatan pada penyiapan dan penyerahan gambar maka kontraktor juga akan terlambat untuk melaksanakan pekerjaan. Akibat berangkai akan terjadi jika suatu item pekerjaan terlambat dimulai, karena akan mengganggu pekerjaan lain yang terkait. Untuk mengatasi tersebut maka diperlukan perintah dari Engineer kepada Kontraktor untuk melakukan percepatan (Akselerasi) pekerjaan. Tentunya tidak “gratis”, Kontraktor akan mengajukan “klaim” yang biasanya cukup besar dalam melaksanakannya. Sehingga biaya proyek membengkak.

d.   Terlambatnya Pemenuhan Kewajiban oleh Kontraktor Lain.
Contoh dari kondisi ini misalnya pada suatu proyek PLTA, untuk mencapai lokasi terowongan harus melalui “ Acces  Road” yang harus diperbaiki atau dibangu terlebih dahulu. Katakanlah misalnya nilai pekerjaan untuk memperbaiki “Access Road” tersebut sebesar Rp 200 juta dikerjakan oleh kontraktor X.  Sementara pekerjaanpenggalian terowongan pipa pesat dikerjakan oleh kontraktor utama dengan nilai kontrak sebesar Rp 10 milyar. Pada saat kontraktor utama akan memulai pekerjaan di terowongan, ternyata kontraktor X belum selesai memperbaiki access road dan terlambat selama 10 hari.
Adanya keterlambatan selama 10 hari tersebut merupakan hal yang sangat serius karena Employer terpaksa mengeluarkan biasa Akselerasi bagi kontraktor utama selama sepuluh hari keterlambatan, belum lagi berbagai klaim yang dikaitkan dengan nilai kontrak yang sebesar Rp 10 milyar. Biaya tambahan yang timbul dapat mencapai ratusan juta rupiah. Sementara besar denda yang dapat dikenakan kepada kontraktor X hanya sebesar 1 permil perhari atau sebesar Rp 2 juta untuk keterlambatan selama 10 hari.
Dari contoh-contoh di atas dapatlah diketahui bahwa banyak sekali penyebab atau kondisi yang menimbulkan pembengkakan biaya proyek. Disinilah dapat dilihat betapa pentingnya peran dan tanggungjawab pihak Employer yang bertugas untuk mengawasi dan mengendalikan proyek, yaitu agar diperoleh optimasi pada biaya dan waktu pelaksanaan proyek tersebut. 
Manajemen proyek yang terus menerus mengikuti dari hari ke hari pelaksanaan proyeklah yang dapat segera mengantisipasi kemungkinan timbulnya biaya atau keterlambatan. Kalau pada bagian depan tulisan ini seolah-olah peran Employer akan berkurang dengan penerapan kontar model FIDIC, sebenarnya pada kasus-kasus timbulnya pembengkakan biaya inilah Employer dapat berbuat banyak untuk mengendalikannya. Employer misalnya dapat menghindari sampai seminimal mungkin terjadinya perubahan lingkup pekerjaan, melakukan antisipasi timbulnya “unforeseeable condition” pada kesempatan pertama, memenuhi kewajiban Employer dan Engineer sesuai kontrak, serta menghindarkan terjadinya keterlambatan suatu pekerjaan yang akan menghambat pekerjaan utama.
Dari kemampuan untuk melakukan optimasi biaya, artinya agar tambahan biaya menjadi sesedikit mungkin tersebut serta proyek dapat selesai tepat pada waktunya itulah terletak sumbangsih dan prestasi pihak Employer. Karena hal tersebut secara langsung akan mengurangi biaya modal (capital cost) untuk mewmproduksi tenaga listrik.

KESIMPULAN 
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1.   Dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi berskala besar, khususnya pekerjaan sipil, sering ditemukan atau didapat hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya (unforeseeable conditions) sehingga biasanya dialokasikan suatu dana cadangan (contingency) untuk mengatasinya. 
2.   Kontrak adalah suatu perjanjian yang mengikat pihak Employer dan Kontraktor untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan syarat-syarat tertentu. Jika terjadi perubahan syarat-syarat atau kondisi pekertjaan maka Kontraktor berhak untuk mengajukan klaim tambahan biaya dan perpanjangan waktu pelaksanaan. 
3.   Berdasarkan sifat pelaksanaan dan pembayarannya, maka kontrak dapat dibedakan atas kontrak Lumpsum, Unit Price , Cost Plus, Turn-key, atau kombinasi dari jenis-jenis kontrak. Masing-masing jenis kontrak tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, dan dipilih sesuai dengan situasi yang ada.
4.   FIDIC telah menyususn syarat-syarat kontrak yang dari waktu ke waktu terus disempurnakan oleh para ahli yang kompeten, dan merupakan syarat-syarat kontrak yang paling banyak dipakai secara internasional. Dalam penyusunannya FIDIC mengacu pada kaidah-kaidah legal, binding, morally justified, bertujuan agar pelaksanaan proyek dapat berjalan professional, adil dan efisien.
5.   Dalam pengelolaan (manajemen) kontrak pada suatu proyek, terdapat3 pihak yang terkait, yaitu pemilik proyek (Employer), konsultan pengawas (Engineer) dan pelaksana (Contractor). Ketiga pihak terkait tersebut harus dapat bekerjasama sesuai fungsi dan tugas masing-masing agar proyek dapat berjalan lancar, efektif dan efisien.
6.   Agar suatu proyek dapat berjalan dan selesai secara tepat waktu, tepat biaya dan sesuai mutu yang disyaratkan, pihak Employer harus jeli untuk melihat dan mengantisipasi hal-hal yang dapat menghambat kelancaran proyek serta menyebabkan pembengkakan biaya.
(habis)
----------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar