(tulisan ini pernah dimuat pada Berita PLN Edisi
Maret & April 1996)
PENDAHULUAN
Dalam
pengelolaan suatu perusahaan, kegiatan investasi merupakan suatu kegiatan yang
sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Dimana dengan adanya kegiatan
investasi yang tepat, maka akan diperoleh suatu peralatan (baik berupa pabrik,
kendaraan, alat-alat produksi, termasuk juga sumberdaya manusia dan lain-lain)
yang akan berfungsi untuk menghasilkan produk untuk dipasarkan kepada konsumen.
Mengingat
produk yang dihasilkan tersebut dimaksudkan untuk dipasarkan kepada konsumen,
serta terdapatnya para pesaing (competitor) yang juga menawarkan produk
sejenis, maka merupakan hal yang mutlak jika semua unsure biaya untuk
menghasilkan produk tersebut dapat ditekan pada harga yang serendah mungkin.
Salah satunya adalah dengan cara menghemat biaya investasi, baik biaya dasar
dari nilai peralatan yang ada, maupun biaya bunga bank (cost of money).
Dalam
hal kegiatan pembangunan suatu konstruksi besar, seperti misalnya Pusat Listrik
Tenaga Air (PLTA), biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pelaksanaan
konstruksinya cukup besar. Sementara juga karena cukup besarnya tingkat
ketergantungan biaya konstruksi tersebut terhadap kondisi topografi dan geologi
di lapangan yang tidak dapat diketahui sebelumnya pada tahap perencanaan
proyek, maka dapat terjadi pembengkakan biaya proyek. Disamping itu juga bukan
hal yang aneh jika terjadi perpanjangan waktu pelaksanaan yang pada hakekatnta
juga merupakan tambahan biaya (cost of money), atau kombinasi dari tembahan
biaya dan perpanjangan waktu.
Mengingat
nature (perilaku) proyek konstruksi yang seperti itu, maka biasanya pada tahap
perencanaan proyek, disamping rencana biaya yang ada, juga dialokasikan suatu
“contingency” untuk mengantisipasi adanya tambahan biaya. “Contigency” tersebut
mencakup tambahan fisik (physical contingency) maupun tambahan akibat harga
satuan material dan upah tenaga kerja yang berubah (price contingency).
Jadi
tantangan yang terbesar dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi adalah
bagaimana mengelolanya sehingga proyek tersebut dapat selesai secara tepat
waktu dan tepat biaya. Artinya meski timbul masalah-masalah yang tidak dapat
diramal sebelumnya (unforeseen condition), masalah tersebut dapat dikelola
secara baik dan penggunaan contingency (dana cadangan) dapat ditekan
serendah-rendahnya.
Tulisan
ini membahas tentang peranan manajemen kontrak dalam proses optimasi biaya
konstruksi. Dengan mengenal secara baik aspek-aspek kontraktual dalam
pengelolaan suatu proyek, kemudian menerapkannya secara tepat, maka terbuka
peluang untuk dapat menekan biaya proyek tersebut. Sehingga penggunaan
contingency yang berlebihan dapat dihindari, bahkan sebaliknya ditekan seminimum
mungkin.
KONTRAK
Dalam
pelaksanaan konstruksi suatu proyek biasanya terdapat unsure-unsur : pemilik
proyek atau pemberi tugas (owner/ employer), konsultan pengawas (engineer),
serta pelaksana pekerjaan (contractor). Namun bukan merupakan hal yang aneh
jika dalam suatu proyek, pemilik proyek juga sekaligus bertindak sebagai
pengawas, atau bahkan juga sekaligus sebagai pelaksana pekerjaan di lapangan
(swakelola). Namun kaidah-kaidah pembagian tugas tersebut terdapat pada
unsure-unsur pemilik proyek yang bertindak sebagai owner, engineer dan
kontraktor. Namun dengan semakin besar dan rumitnya proyek konstruksi pada saat
sekarang, kecenderungan yang ada adalah semakin terpisahnya ketiga macam fungsi
dan unsure dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Bagaimana
hubungan antara pemilik, pengawas dan pelaksana pada suatu proyek, secara hokum
diatur oleh suatu dokumen yang disebut dengan “kontrak”. Secara sederhana
kontrak didefinisikan sebagai : “ suatu perjanjian tertulis antara dua pihak
atau leboih yang menimbulkan adanya kewajiban untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan hal tertentu bagi masing-masing pihak yang menandatangani kontrak
tersebut”. Jadi dilihat dari segi hukum yang dimaksud dengan kontrak tersebut
sebenarnya sangat sederhana. Sehingga misalnya
surat perjanjian yang hanya terdiri dari selembar kertas, namun telah berisi
atau mencantumkan kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak penandatangan perjanjian,
maka dokumen itu telah dapat disebut sebagai kontrak. Namun tentu dengan
semakin rumit dan besarnya lingkup pekerjaan pada saat ini, bukan zamannya
kontrak dibuat secara sederhana tersebut. Untuk pekerjaan pada proyek-proyek
konstruksi dewasa ini biasanya kontrak terdiri dari beberapa ratus bahkan
sampai ribuan halaman.
Dengan
semakin panjang dan rumitnya masalah-masalah yang diatur dalam suatu kontrak
,ditambah dengan adanya arus globalisasi, serta dengan semakin ketatnya
persaingan di antara para kontraktor, maka pada decade terakhir ini timbul
kecenderungan bagi para kontraktor (khususnya kontraktor internasional) untuk
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap aspek kontraktual dari suatu
proyek. Karena dengan memberikan
perhatian dan konsentrasi yang besar terhadap aspek kontraktual, akan terbuka
peluang bagi kontraktor untuk mengajukan “claim”
tambahan biaya proyek. Yang berarti akan memperoleh keuntungan tambahan yang
cukup besar jumlahnya, mengingat setiap kontrak pasti tidak terlepas dari
kelemahan-kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh kontraktor yang jeli dan
berpengalaman untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dari “claim”.
Sementara
dari pihak pemilik proyek (owner) terdapat juga kecenderungan untuk melakukan
perlindungan yang berlebihan (over-protective) terhadap
kepentingan-kepentingannya, yaitu dengan memasukkan tambahan pasal-pasal yang
akan melindungi employer/ owner dalam kontrak. Namun sebenarnya adanya tambahan
pasal-pasal proteksi tersebut akan lebih banyak menimbulkan kerugian kepada
employer daripada member keuntungan. Karena pada proses pelelangan, pihak
peserta lelang akan melihat dan menghitung berapa besar risiko yang menjadi
tanggungan mereka. Sehingga jika terlalu banyak terdapat pasal-pasal yang
melindungi kepentingan pemilik proyek, maka harga penawaran yang diajukan jelas
akan meningkat sehingga nilai kontrak menjadi mahal. Disamping itu aturan hokum
yang berlaku juga membatasi pasal-pasal yang ada dalam kontrak sehingga
kepentingan semua pihak dapat terlindungi secara berimbang.
Jadi
jelaslah bahwa idealnya pihak pemilik pekerjaan juga perlu membekali dirinya
dengan persiapan yang memadai tentang aspek kontraktual dari suatu proyek.
Termasuk juga penyiapan sumberdaya manusia yang andal dan memahami seluruh
aspek kontraktual dan teknis proyek. Antara lain sebagai indikasi persiapan
yang memadai tersebut adalah ditempatkannya SDM yang senior dan memiliki jam
terbang yang cukup sebagai “contract engineer”. Bukannya hanya menugaskan
seorang staf yunior yang belum berpengalaman. Hal tersebut dapat menimbulkan
bahaya karena pihak kontraktor pasti akan mempersiapkan tim kontraktual yang
tangguh dan berpengalaman.
Penyiapan
tim kontraktual yang tangguh tersebut tidak hanya diperlukan pada tahap pelaksanaan
proyek, namun sejak tahap identifikasi proyek serta pada saat penyusunan
dokumen lelang tidak kurang pentingnya untuk mulai mengidentifikasi celah-celah
clausul dalam kontrak yang besar kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh kontraktor
yang berpengalaman untuk mengajukan “claim” tambahan biaya. Adanya tim
kontraktual yang tangguh diharapkan dapat menutup celah-celah kelemahan pada
dokumen lelang.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar