Rabu, 30 Januari 2013

APLIKASI ALAT PENGERING BATUBARA PADA PLTU

Silahkan Klik Topik Lainnya :



Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) digolongkan sebagai pembangkit listrik pembangkit listrik tenaga thermal yang mengubah energi kimia dalam bahan bakar menjadi energi listrik. Bahan bakar pada PLTU dapat berupa bahan bakar padat (batubara), cair (BBM) serta gas.
Pada PLTU dengan bahan bakar batubara. Proses konversi energi berlangsung dari batubara menjadi listrik tersebut dapat dibagi dalam 3 tahap :
  1. Tahap pertama, terjadi pada boiler yang merubah  energi kimia batubara menjadi uap bertekanan dan temperature tinggi.
  2. Tahap kedua berlangsung pada turbin uap yang merubah energi uap menjadi energi putaran mekanik.
  3. Tahap ketiga pada generator yang mengubah energi putaran menjadi listrik.
Agar dapat menghasilkan listrik secara optimal dan efisien, maka suatu PLTU batubara didesain untuk menggunakan batubara dengan kadar air (moisture) dan nilai kalor (heating value) tertentu. Jika digunakan batubara dengan kadar air dan nilai kalor di bawah spesifikasi pembangkit, maka akan berpengaruh pada performa dan emisi yang dihasilkan. Artinya kapasitas dan efisiensi akan turun, sedangkan emisi CO2 dan SO2 naik.
Jenis-jenis Batubara
Batubara dibedakan berdasarkan nilai kalor serta lama proses pembentukannya. Pengelompokan ini menunjukkan kualitas batubara yang akan membedakan nilai ekonomis serta kegunaan batubara tersebut. Terdapat empat jenis batubara mulai dari kualitas rendah hingga tinggi, yaitu: lignit, sub-bituminous, bituminous, dan antrasit. Di bawah ini ditunjukkan secara singkat perbedaan keempat jenis batubara tersebut.
1.            Lignit atau sering disebut sebagai brown coal. Batubara ini merupakan batubara kelas rendah dengan  nilai kalor kurang dari 4165 kcal/kg.
2.            Sub-bituminous.adalah batubara yang memiliki sifat-sifat fisik di antara batubara jenis lignit dan bituminous. Batubara sub-bituminous memiliki nilai kalor 4166 kcal /kg hingga 5700 kcal/kg, dan sering digunakan digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap
3.            Bituminous. adalah batubara dengan densitas tinggi, berwarna hitam atau coklat gelap, umumnya mengkilap dan keras dan juga biasa digunakan untuk proses pemanasan. Bituminous memiliki nilai kalor 5700 kcal/kg hingga  6900 kcal/kg.
4.            Antrasit, adalah batubara kualitas terbaik tinggi dan keras. Nilai kalor batubara jenis ini lebih dari 6900 kcal/kg.
 Ciri dari batubara kelas rendah seperti lignit dan subbituminous adalah kandungan air yang cukup tinggi dibandingkan dengan batubara kelas di atasnya, yaitu  25 sampai 40 % pada batubara lignit , dan  15 sampai 30 % pada sub-bituminous. Kadar air tinggi batubara yang dipakai sebagai bahan bakar PLTU dapat mengakibatkan kesulitan fuel handling dan akan berpengaruh pada laju aliran kalor, laju aliran massa dari emisi gas buang, dan juga konsumsi air yang dibutuhkan untuk pendinginan evaporative.
Secara spesifik pemakaian batubara lignit dengan kelembaban 25 sd 40 % akan menyebabkan rendahnya heating value, Heat rate naik, stack flue gas dan stack loss meningkat, listrik pemakaian sendiri naik, effisiensi pembangkit turun, berkurangnya kapasitas mill, serta naiknya biaya pemeliharaan.
Dengan adanya permasalahan tersebut di atasa, maka diperlukan upaya untuk menaikkan nilai kalor bahan bakar batubara sehingga sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan untuk memasok pembangkit. Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan proses pengeringan batubara (coal drying) untuk mengurangi kandungan air agar nilai kalornya naik.
Menurut data dari Indonesia Coal Industri Outlook 2011, jumlah sumberdaya batubara indonesia adalah sebesar 104,94 milyar ton. Sedangkan TSK dan Sojits Corporation pada Workshop Clean Coal Technology 2011 menyampaikan bahwa komposisi sumberdaya batubara tersebut terdiri dari lignit 58,7 %, sub-bituminous 26,7 %, bituminous 14,3 %, dan antrasit sebesar 0,3 %.
Sedangkan menurut Bart Lucarelli pada  Cleaner Coal Workshop 19-21 August 2008 Ha Long City, Viet Nam , saat ini banyak perusahaan batubara Indonesia yang mengatakan bahwa  batubara  sub -bituminous mereka telah habis terjual. Dengan demikian akan banyak PLTU yang tidak dapat beroperasi secara optimal karena tidak tersedia batubara dengan nilai kalor dan kadar air sesuai dengan spesifikasi tersebut.
Namun mengingat banyaknya kerugian jika PLTU beroperasi dengan batubara yang nilai kalornya dibawah nilai kalor desain, maka alternatif yang cukup menarik adalah dengan teknologi  pengering batubara. Dengan demikian maka nilai kalor batubara dapat dinaikkan sampai nilai kalor desain boiler PLTU.

Teknologi Pengering Batubara
Secara internasional, meskipun penelitian telah sejak lama dilaksanakan, namun aplikasi pengering tersebut pada PLTU juga belum banyak dilakukan. Hal tersebut disebabkan pada masa yang lalu belum terjadi kelangkaan pada batubara kalori tinggi. Baru pada tahun-tahun terakhir dengan semakin banyaknya pembangkit dengan bahan bakar batubara, maka cadangan batubara kalori tinggi berkurang. Hal tersebutlah yang mendorong pengembangan teknologi pengering batubara untuk memanfaatkan batubara kalori rendah.
Saat ini beberapa teknologi Pengering Batubara yang tersedia adalah sebagai tabel berikut : (Bart Lucarelli, 2008)

Teknologi
Sumber Energi Primer
Company
Fluidized Bed Dryer
Waste heat from power plant condenser (~50 °C), aux load for fans & pumps
Great River Energy (USA)
Lehigh University (USA)
Fluidized Bed Dryer
Low temperature steam from power plant turbine; aux. load for fans & pumps
RWE (WTA Process)
Alsthom Power
BinderlessBriquetter
Heat from burning coal in furnace -flash dryer
White Energy (Australia)
PyrolysisSystem
Both heat and power from power plant
Evergreen Energy (USA)
UBC Process
Power & Kerosene as Binder for briquettes
Kobe Steel
Microwave Dryer
Power –lots of it!
CoalTek(USA)
AMTECH (USA)

Menurut Tim dari Lehigh University yang bersama-sama perusahaan Great River Energy mengembangkan Coal Drier dengan teknologi Fluidized Bed Drier di PLTU berkapasitas 550 MW di Coal Creek USA, pengeringan batubara tersebut menyebabkan peningkatan efisiensi boiler sebesar 3 %, menurunkan Net Unit Heat Rate 3,3 %,  menurunkan SO2 dan CO2 3,3 %, serta mengurangi jumlah make-up water cooling tower sebesar 2 x 105 galon per hari.
 This Drying System Uses a Combination of Thermal Energy from Boiler and
Condenser Cooling Water as the Heat Source for Coal Drying
Alat Pengering batubara di Indonesia
Sampai saat ini belum banyak terdapat alat pengering batubara pada PLTU di Indonesia. Dari beberapa contoh yang dapat kami himpun, adalah sebagai berikut :
  1. PLTU Simpang Belimbing di Muara Enim, Sumatra Selatan
PLTU Simpang Belimbing yang mulai beroperasi pada akhir tahun 2011 adalah PLTU milik Swasta dengan kapasitas 2 x 150 MW.  PLTU tersebut merupakan PLTU mulut tambang dengan bahan bakar batubara yang ditambang pada lokasi sekitar PLTU. Namun karena nilai kalor batubara tersebut tergolong rendah dan kadar air tinggi, maka pada PLTU tersebut dibangun alat pengering batubara. Dengan adanya alat pengering batubara tersebut maka nilai kalor batubara tersebut dapat ditingkatkan sehingga sesuai dengan spesifikasi teknis boiler.
PLTU Simpang Belimbing
  1. PLTU Ombilin, Sawah lunto
Alat pengering batubara di PLTU Ombilin dimiliki oleh perusahaan swasta yang memasok batubara untuk PLTU. Perusahaan tersebut memiliki kuasa tambang batubara dengan nilai kalor sebesar (+ 3900 kkal/kg  yang tidak memenuhi spesifikasi batubara untuk PLTU Ombilin. Agar batubara tersebut dapat memenuhi syarat untuk PLTU Ombilin, maka perusahaan tersebut membeli alat pengering batubara dari China, yang dapat menaikkan nilai kalor batubara menjadi 5.400 kcal/ kg.  Dengan metoda upgrading tersebut, maka perusahaan tersebut dapat memasok batubara sebanyak 20.000 Ton/Bulan atau seperempat dari kebutuhan PLTU.
Alat yang beroperasi sejak bulan Juli 2012 tersebut merupakan jenis direct contact, dimana sumber panas bersinggungan langsung dengan batubara kalori rendah (Lignite, Sub Bituminus), sedangkan panas untuk pengeringan memakai gas buang (flue gas) dari pembakaran batubara di furnace

  1. PLTU Labuan , Banten
PLTU Labuan Banten adalah PLTU berkapasitas 2 x 315 MW yang dirancang untuk beroperasi dengan bahan bakar dengan nilai kalor sebesar 4.120 kcal/ kg. Namun karena sering batubara yang tersedia mempunyai nilai kalor yang lebih rendah serta moisture yang lebih tinggi, maka hasil heat rate PLTU Labuan lebih tinggi dari nilai desain. Hal tersebut berarti efisiensi PLTU lebih rendah dari desain, dan biaya pemeliharaan meningkat.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka saat ini di PLTU Labuan sedang dipasang peralatan untuk uji coba alat pengering batubara (coal drier) dengan sistem memanfaatkan fluida panas dari pembakaran batubara pada tungku cyclone burner. Kapasitas desain coal drier PLTU Labuan tersebut adalah sebesar 200 ton perjam, atau 1,4 juta ton per tahun.  Kapasitas tersebut diharapkan dapat melayani 1 unit PLTU Labuan (315 MW).

  1. Prototype Alat Pengering Batubara PLN Puslitbang
Pada tahun 2011 para peneliti dari PLN Puslitbang Ketenagalistrikan berhasil membangun dan mengoperasikan alat pengering batubara skala laboratorium dengan kapasitas 1 ton batubara per jam. Proses pengeringan menggunakan gas buang (flue gas) dengan tujuan mengurangi resiko terbakar sendiri (self combustion)  dan memanfaatkan panas dari gas buang tersebut.
Pada uji coba pengeringan dengan temperatur flue gas 150 oC, diperoleh kenaikan nilai kalor sebesar 500 – 600 kcal/kg, sedangkan jika temperature pengeringan dinaikkan menjadi 160 oC diperoleh kenaikan nilai kalor hingga 900 kcal/kg.
Dengan keberhasilan tersebut direncanakan dapat dilakukan ujicoba untuk membangun alat yang sama dengan kapasitas yang lebih besar di lapangan.

  1. Uji Coba Pengering Batubara di BPPT
Pada tahun 2011 di laboratorium BPPT di Serpong dilakukan uji coba skala laboratorium alat pengering batubara. Alat yang merupakan produksi luar negri tersebut tersebut adalah Steam Tube Drier yang memakai uap air sebagai pemanas. Uap air tersebut dialirkan pada pipa-pipa yang terdapat pada tabung berputar yang diisi batubara. Di luar negri produk alat tersebut telah beroperasi dan dipakai baik pada pembangkit listrik maupun cooking coal.
Steam tube drier BPPT

Penutup
Pada dasarnya suatu PLTU haruslah beroperasi dengan bahan bakar batubara yang sesuai dengan desain boilernya. Dengan demikian prioritas utama yang harus dilaksanakan adalah mencari batubara yang sesuai dengan spesifikasinya. Meskipun harga batubara tersebut lebih mahal dibandingkan dengan harga batubara kalori rendah. Namun tetap akan lebih menguntungkan, karena jika PLTU mempergunakan bahan bakar dengan kalori rendah dan (atau) kadar air melebihi spesifikasinya maka akan menimbulkan kerugian kapasitas dan efisiensi turun, emisi CO2 dan SO2 naik, biaya pemeliharaan akan meningkat, demikian juga time between failure akan turun.
Namun jika batubara dengan nilai kalor dan kadar air yang sesuai desain tidak dapat diperoleh, maka langkah berikut yang bisa dilakukan adalah dengan teknologi pengering batubara. Teknologi tersebut akan menguntungkan dibandingkan dengan membangun PLTU dengan desain batubara dengan kalori lebih rendah. Karena PLTU dengan nilai kalori bahan bakar batubara yang lebih tinggi, maka kapasitas dan efisiensi pembangkit naik, harga pembangkit per MW lebih murah, serta biaya pemeliharaan akan rendah.
Mengingat saat ini belum banyak terdapat Coal Drier pada PLTU, baik di dunia maupun di Indonesia. Maka perlu dilakukan uji coba teknologi coal drier pada berbagai pembangkit, khususnya pada PLTU yang diperkirakan sulit mendapat batubara sesuai dengan desainnya. Teknologi dalam negri yang sudah ada, termasuk dengan kapasitas kecil dapat diterapkan pada berbagai PLTU skala kecil yang ada. Dengan demikian jika uji coba pada pembangkit berkapasitas kecil berjalan dengan baik, maka langkah berikutnya dapat dilakukan scale-up secara bertahap untuk PLTU dengan kapasitas yang lebih besar.
Jakarta, 30 Januari 2013
------------------------------
Artikel Terkait Lainnya :

Rabu, 09 Januari 2013

BEDAH INEFISIENSI PEMBANGKIT LISTRIK, UJI HEAT RATE !


PLTU Ombilin

Silahkan Klik Topik Lainnya :
Kegiatan Lingkungan dan Fakultas Teknik,  Wisata Padang Sumatra Barat,  Umroh Makkah Madinah,  Wisata Singapore,  Wisata Phuket Thailand,  Wisata Karimunjawa,  Wisata Malang Bromo,  Wisata Ende Flores,  Wisata Tidung Kepulauan Seribu,  Wisata Pangandaran,  Wisata BandungWisata Malang Batu,  Wisata Melaka Kuala LumpurWisata Penang Malaysia

Heat rate pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah jumlah pasokan energi yang diperlukan untuk menghasilkan listrik sebesar 1 kWh. Artinya apa ? Jika nilai kalor bahan bakar batubara sebesar 5.000 kcal/ kg dan heat rate suatu PLTU 2.500 kcal/ kWh, maka 1 kg bahan bakar batubara akan menghasilkan listrik sebanyak 2 kWh.
Nilai heat rate sangat penting untuk menghitung biaya operasi dan laba PLTU. Jika nilai heat rate pada contoh di atas turun sebesar 4 % menjadi 2.400 kcal/ kWh, maka untuk menghasilkan energi listrik yang sama hanya memerlukan batubara seberat 0,96 kg. Sedikit memang bedanya, kalau hanya penghematan sebesar 0,04 kg. Tapi kalau kapasitas PLTU sebesar 1.000 MW, akan memerlukan batubara dengan nilai kalori 5.000 kcal/ kg sebanyak 3,5 juta ton per tahun.  Jika terdapat efisiensi heat rate sebesar 4 %, maka jumlah batubara yang dapat dihemat per tahun adalah sebesar 140.000 ton. Kalikan dengan harga batubara di lokasi PLTU yang sebesar Rp 600.000,- per ton, nilai efisiensi biaya bahan bakar atau tambahan laba yang diperoleh adalah sebesar Rp 84 milyar.
Mungkinkah efisiensi biaya bahan bakar sebesar 4 % tersebut dicapai ? Apakah semudah itu hanya dengan melakukan uji heat rate ? Tentu tidak. Uji heat rate bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya penurunan kinerja thermal (thermal performance) pembangkit serta menentukan penyebab dan bagian pembangkit yang menyebabkan losses daya dan efisiensi lebih rendah dari seharusnya. Dengan mengetahui kondisi pembangkit yang losses nya melebihi normal, serta bagian mana dari pembangkit yang losses di atas seharusnya, maka dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk mengatasinya.
Tentu saja perbaikan dan penyempurnaan kondisi pembangkit tersebut akan memerlukan biaya, namun dengan sendirinya akan terbayar plus keuntungan besar dengan kembalinya efisiensi pembangkit listrik sesuai dengan desain. Ibarat dokter bedah, uji heat rate adalah langkah awal untuk melihat penurunan kinerja organ tubuh pembangkit listrik. Pengujian tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Namun sangat besar manfaatnya untuk meningkatkan efisiensi pembangkit, mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan ketersediaan pembangkit, mengurangi biaya operasi dan pemeliharaan, serta pada ujungnya meningkatkan laba.
PLTU
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) digolongkan sebagai pembangkit listrik pembangkit listrik tenaga thermal yang mengubah energi kimia dalam bahan bakar menjadi energi listrik. Bahan bakar pada PLTU dapat berupa bahan bakar padat (batubara), cair (BBM) serta gas. Namun pada tulisan ini hanya akan dibahas tentang PLTU dengan bahan bakar batubara. Proses konversi energi berlangsung dari batubara menjadi listrik tersebut dapat dibagi dalam 3 tahap :
  1. Tahap pertama, terjadi pada boiler yang merubah  energi kimia batubara menjadi uap bertekanan dan temperature tinggi.
  2. Tahap kedua berlangsung pada turbin uap yang merubah energi uap menjadi energi putaran mekanik.
  3. Tahap ketiga pada generator yang mengubah energi putaran menjadi listrik.
Secara skematis proses konversi energi yang berlangsung pada PLTU dapat dilihat pada bagan berikut :
Bagan konversi energi pada PLTU

Pada setiap tahap perubahan bentuk energi di atas, selain menghasilkan bentuk energi lain sebagai output, juga akan terdapat losses, sehingga tidak energi yang diperoleh tidak sebanyak input energi yang diberikan. Karena sebagian berubah sebagai losses. Secara typical nilai efisiensi pada setiap komponen PLTU adalah sebagai bagan berikut :
Neraca Energi dan dan typical efisiensi PLTU (ASME PTC CM-2002)

Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa pada proses di boiler terjadi losses sebesar 11 %, selanjutnya pada siklus uap-air terjadi losses sebesar 44,7 % , pada turbin dan generator sebesar 2 %, dan untuk keperluan sendiri (station auxiliary) sebesar 2,0 %. Dengan demikian dari input energi pada bahan bakar sebesar  100 %, akan menghasilkan listrik netto sebesar 36,2 %.
Uji Heat Rate
Uji heat rate adalah pengujian yang dilakukan pada PLTU dengan tujuan untuk mengetahui berapa besar input energi panas dari bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik sebesar 1 kWh. Uji heat rate dilakukan pada kondisi yang spesifik, baik bahan bakar, lokasi pembangkit listrik, kapasitas pembangkit maupun variasi beban pembangkit.
Tujuan uji heat rate adalah untuk mengidentifikasi besarnya penurunan kinerja thermal pembangkit, serta menentukan penyebab dan bagian dari pembangkit yang tingkat efisiensi (kinerja) nya menurun dibandingkan dengan kondisi oprimal. Dengan demikian jika terjadi penurunan efisiensi maka dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan untuk mengembalikan kinerja pembangkit sehingga mencapai titik optimal.
Terdapat 2 metoda uji heat rate, yaitu : a. Metode Input-Output , dan b. Metoda Energy-Balance. Metoda input-output adalah metode yang sederhana, cepat dan murah, karena hanya mengukur jumlah energi input bahan bakar batubara yang dikonsumsi selama waktu pengujian, yang selanjutnya dibagi dengan jumlah energi listrik yang dihasilkan. Sedangkan pada metode energy-balance memerlukan banyak pengukuran proses konversi energi serta losses yang timbul pada masing-masing bagian pembangkit, selanjutnya dilakukan proses perhitungan yang rumit. Namun proses tersebut juga memiliki keuntungan-keuntungan yang tidak didapat jika kita melaksanakan pengujian dengan metoda input-output.
Keuntungan dan kerugian pada masing-masing metode uji heat rate adalah sebagai berikut :
METODE UJI
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
METODE INPUT-OUTPUT
Parameter utama dari efficiency  (output, input) diukur langsung
Aliran bahan bakar, nilai kalor, serta sifat-sifat uap harus diukur secara akurat untuk mengurangi kesalahan
Memerlukan sedikit pengukuran
Tidak dapat menentukan bagian pembangkit yang menjadi sumber inefisiensi
Tidak perlu memperkirakan besar losses yang tidak dapat diukur
Tidak dapat dipakai untuk menjadi acuan bagi standar performance masing-masing komponen seperti boiler, turbin atau generator.
METODE ENERGY BALANCE
Pengukuran data primer (analisa flue gas dan temperature flue gas) dapat dibuat secara teliti
Memerlukan banyak pengukuran
Hasil pengujian dapat dipakai sebagai standar atau kondisi garansi masing-masing komponen.
Tidak langsung mendapat data kapasitas dan output
Nilai tes efisiensi lebih teliti karena pengukuran dilakukan banyak bagian yang lebih kecil.
Beberapa losses tidak dapat diukur dan harus diperkirakan
Sumber terjadinya losses pembangkit dapat diidentifikasi


Contoh Perhitungan Uji Heat Rate
Berikut adalah contoh pengujian heat rate dengan metode input-output sesuai ASME PTC PM-2010 , ”Performance Monitoring Guidelines for Power Plants”
Misalnya suatu pembangkit listrik tenaga uap batubara berkapasitas 50 MW diuji heat rate masing-masing selama durasi 2 jam dengan besar beban bervariasi : 50 %, 75 %, 90 % dan 100 %. Selama pengetesan dilakukan pengukuran konsumsi batubara serta produksi energi listrik yang dihasilkan. Diperoleh data berikut :
No.
Beban (%)
Waktu
Konsumsi batubara (kg)
Power Output (kWh)
Gross
Nett
1
50
08.00-10.00
32.310
47.850
45.300
2
75
11.00 – 13.00
47.100
73.200
69.500
3
90
14.00 – 16.00
56.705
88.475
84.100
4
100
17.00 – 19.00
62.525
98.510
93.900
Sampel batubara yang dipakai diambil masing-masingnya 1 kg untuk diuji di laboratorium.  Dari hasil uji laboratorium didapat nilai HHV batubara yang dipakai =  4.100 kcal/ kg, maka dihitung nilai heat rate dengan rumus sebagai berikut :
  1. Gross Heat Rate : ratio energi input to the gross electricity generation
                                   (kcal/kWh or kJ/kWh)
  1. Net Heat Rate : ratio energi input to the net electricity generation
                                   (kcal/kWh or kJ/kWh)
Energi input : fuel consumption x Heating value of fuel
Net electricity generation = gross electricity generation – auxiliary power
Hasil uji dan perhitungan heat rate selanjutnya dimasukkan pada table berikut :
No.
Beban (%)
Waktu
Konsumsi batubara (ton)
Power Output (kWh)
Nilai Kalori/ HHV (kcal/kg)
Plant Heat Rate (kCal/kWh)
Gross
Net
Gross
Nett
1
50
08.00-10.00
32.310
47.850
45.300
4.100
2.768
2.924
2
75
11.00 – 13.00
47.100
73.200
69.500
4.100
2.638
2.778
3
90
14.00 – 16.00
56.705
88.475
84.100
4.100
2.627
2.764
4
100
17.00 – 19.00
62.525
98.510
93.900
4.100
2.602
2.730
Dari angka-angka di atas dapat diketahui bahwa  secara umum nilai heat rate akan meningkat jika pembangkit dioperasikan pada kapasitas rendah. Nilai heat rate tersebut juga akan bervariasi untuk  kapasitas pembangkit yang berbeda. Pembangkit berkapasitas besar umumnya memiliki heat rate yang lebih rendah atau tingkat konversi energy dan efisiensinya lebih baik.
Manfaat Uji Heat Rate
Dengan melaksanakan uji heat rate secara rutin, maka akan diperoleh kondisi kesehatan serta kinerja dari pembangkit listrik. Hal tersebut sangat penting karena angka-angka yang diperoleh pada uji heat rate menunjukkan besar energi thermal yang diperlukan untuk menghasilkan listrik sebesar 1 kWh.  Semakin besar hasil uji heat rate berarti semakin besar bahan bakar batubara yang dipakai untuk menghasilkan energi listrik yang sama, yang berarti biaya bahan bakar meningkat. Jika heat rate secara rutin diuji maka pemborosan bahan bakar dapat dihindari karena gejalanya langsung terdeteksi dan dapat segera dilakukan perbaikan.
Bagi perusahaan hasil uji heat rate dapat dimanfaatkan untuk mengetahui apakah pembangkit listrik yang ada memiliki kinerja yang baik, normal atau kurang baik dengan pembangkit sejenis. Perbandingan nilai heat rate memang perlu dibandingkan dengan pembangkit listrik yang sejenis serta dengan kondisi operasi yang sama, karena nilai heat rate akan berbeda jika kapasitas pembangkit berbeda. Demikian juga akan beda nilainya jika pembangkit tersebut mempunyai kelas kualitas yang berbeda atau beban operasi yang berbeda.
Misalnya data uji heat rate berbagai PLTU batubara dari seluruh dunia dikumpulkan. PLTU batubara tersebut dikelompokkan pada kapasitas terpasang per unit mulai dari 10, 25, 50, 100, 250 dan 500 MW. Selanjutnya PLTU yang ada juga dikelompokkan atas kelas kualitas pembangkit, mulai dari yang terbaik kelas A, normal kelas B, dan yang kurang kelas C. Hasil uji heat rate pada kondisi pembebanan 100 %, disusun pada table berikut :
No.
Kapasitas PLTU (MW)
Net Plant Heat Rate (kCal/ kWh)
Kelas A
Kelas B
Kelas C
1.
10
3.100
3.300
3.500
2.
25
2.900
3.100
3.300
3.
50
2.750
2.850
3.000
4.
100
2.600
2.700
2.800
5.
250
2.500
2.600
2.700
6.
500
2.400
2.500
2.600
Dengan melakukan uji heat rate dan membandingkannya dengan data berbagai PLTU yang ada, dapat diketahui apakah suatu PLTU telah beroperasi secara optimal, normal, atau di bawah normal. Misalnya hasil uji heat rate suatu PLTU dengan kapasitas 100 MW dari kelas A menunjukkan angka 2.650 kCal/ kWh, maka berarti secara rata-rata nilainya melebihi kondisi normal yang pada table di atas 2.600 kCal/ kWh. Dengan indikasi awal tersebut dapatlah dilakukan berbagai pengujian untuk mengetahui bagian pembangkit yang tidak optimal kinerjanya, sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk mengembalikan ke kondisi optimum.
Jakarta, 9 Januari 2012