Senin, 02 September 2013

APA BENAR MENULIS BISA MEMBUAT ORANG KAYA ?


“Menulislah, Maka Kamu Akan Kaya” , adalah judul dari buku karangan Salman El Bachri yang terbit tahun 2008. Ternyata saya sudah punya buku itu sejak bulan Nopember tahun 2008, jadi sudah hampir lima tahunlah umurnya. Memang waktu dulu membelinya hanya saya baca sepintas-sepintas. Belakangan waktu saya buka-buka lemari buku tersebut saya temukan dan coba dibaca lagi.

Karena judulnya profokatif gitu saya jadi ingin juga membuktikannya, ini benar-benar kenyataan, atau hanya omong kosong. Karena bicara tentang orang kaya, kan yang paling gampang diingat si George Soros, lalu ada Warren Buffet, atau yang baru meninggal Steve Jobs. Yang pertama dan kedua karena sejak kecil berinvestasi saham dan secara konsisten menarik keuntungan. Sedangkan Steve Jobs karena talenta luar biasa dalam teknologi informasi serta mampu mengelolanya menjadi asset bisnis yang spektakuler.

Tapi dari nulis ? Kok bisa kaya ya ?  Di bukunya Salman El Bachri ngasih contoh-contoh penulis terkenal yang memang kaya dari menulis tersebut. Ada nama-nama Andrea Hirata yang menulis buku Laskar Pelangi yang dihitung-hitung punya penghasilan milyaran rupiah, ada Habiburrahman El-Shirazy, dan masih banyak lagi. Dari luar negeri mungkin kita bisa ambil contoh terkenal J.K Rowling. Yang ngarang serial Harry Potter. Pastilah royaltynya seabreg-abreg sampai kekayaannya menyamai kekayaan ratu Elizabeth. Lihat aja filem Harry Potter kan keren banget. Saya sudah berkali-kali nonton, dulu di bioskop. Sekarang kalau diputar ulang di TV masih saya tonton, sampai anak saya ngetawain, kok bapak-bapak menjelang kakek-kakek hobbynya nonton filem anak kecil.

Saya coba ingat-ingat atau “flash-back” pengalaman hidup. Saya sendiri kan bisa disebut sebagai penulis, artinya punya tulisan dan lumayan sering dipublikasikan. Apakah saya termasuk orang kaya kaya sebagai penulis ? Ternyata memang banyak juga syaratnya supaya bisa kaya dari menulis, antara lain ya tulisannya harus laku, harus produktif, harus konsisten menulis dan sebagainya. Tapi paling tidak banyak keuntungan dari menulis, kita bisa belajar, meningkatkan ilmu, melatih berpikir cepat dan logis, memperkaya batin. Jadi kaya itu pasti, paling tidak kaya ilmu dan kaya batin.

Pertama kali pengalaman saya menulis waktu kuliah di ITB, pada tahun 1981 saya mulai harus menyiasati bagaimana mencari uang mengingat kesulitan orang tua membiayai kuliah.  Saya coba untuk jadi asisten dosen dan dapat honor. Melamar jadi pengajar bimbingan test tapi belum diterima. Saya coba untuk menulis, kan di Surat kabar “Pikiran Rakyat” Bandung ada rubrik Ilmu dan Teknologi. Eh, ternyata tulisan yang saya kirimkan dimuat. Honornya sebesar Rp 8.500,-.  Sangat lumayan pada masa itu. Karena uang SPP (uang kuliah) di ITB saat itu hanya Rp 16.000,- per semester. 

Jadinya saya semangat untuk menulis, topiknya umumnya tentang pengetahuan dan teknologi, karena bahan-bahannya bisa saya cari di perpustakaan ITB. Paling sering saya nulis tentang energi alternative. Kan menarik dan bisa dibuat banyak tulisan. Mulai dari energi surya, lalu energi bahan organic, energi fotovoltaik. Ada lagi energi gradient garam yang juga merupakan turunan energi surya. Energi dari panas lautan, energi nuklir. Kelangkaan energi. Macam-macamlah, pokoknya saya berusaha dalam sebulan minimal dua atau tiga tulisan saya dimuat di koran. Ditambah dari honor sebagai asisten di laboratorium sehingga cukuplah membiayai hidup dan bayar uang kuliah.

Memang karena motivasinya untuk “survive” maka proses kreatif saya terus mengalir dan menghasilkan berbagai tulisan. Waktu kuliah ilmu logam kan saya diajari oleh Prof. Tata Surdia tentang proses Quenching, Normalizing dan Tempering. Jadi dari kuliah itu timbul inspirasi saya dan lalu lahir tulisan yang berjudul “Pengerasan Baja Tradisional Perlu Bimbingan”  yang membahas proses pandai besi menempa golok, mencelupkannya di air sebagai proses pengerjaan logam di atas. Tulisan tersebut menembus dan dimuat di harian “Sinar Harapan” dengan mendapat honor yang lumayan.
  
Ada lagi tulisan saya yang berjudul “Mengenal Sistem Tenaga Hidraulik”, tulisan itu muncul setelah saya belajar tentang mesin pres hidraulik yang menjadi topic tugas akhir. Atau topic-topik yang agak berbau “politik” saya peroleh dari diskusi dengan teman-teman sesama aktifis mahasiswa. Judul tulisan itu misalnya : “Ketergantungan Teknologi”, “Perusahaan Multinasional dan Negara Berkembang”, serta “Kelompok Diskusi Non Struktural”.

Saya juga berhasil memasukkan tulisan saya di “Suara Karya” dan “Suara Indonesia”, dan yang paling sering selain di “Pikiran Rakyat” , saya menjadi “penulis tetap” di Buletin kampus “Berita ITB”. Jadi sejak dulu saya kenal baik dengan Pak Nur Pamudji ,sekarang Direktur Utama PLN, karena beliau dulu adalah redaktur pelaksana “Berita ITB”.

Beberapa kali saya coba kirim tulisan ke harian “Kompas”, tapi tidak berhasil dimuat dan dikembalikan dengan beberapa saran. Waktu itu saya nulis tentang energi nuklir, terang aja kalah, saingannya Pak Nengah Sudja, Direktur PLN LMK, yang saat itu berani men-“challenge” rencana pemerintah membangun PLTN . Karena sulit menembus “Kompas” jadinya saya mengandalkan tulisan ke media cetak lain yang dapat secara rutin menerima tulisan saya. Boleh dibilang saya  kapok ngirim tulisan ke  “Kompas”. 

Walhasil memang dari menulis saya bisa membiayai hidup dan kuliah. Termasuk juga senangnya waktu hari Sabtu bersama pacar ngambil honor ke kantor “Pikiran Rakyat” di jalan Asia-Afrika. Uang honor tersebut lalu dipakai malam mingguan untuk nonton bioskop dan makan sate dan soto sulung di Simpang Dago. Rasanya benar-benar jadi orang kaya, dan itu semua didapat dari menulis.

Pada tahun 1983 saya pernah memasukkan surat lamaran ke majalah “Tempo” yang saat itu sedang mencari reporter. Saya mengirimkan contoh tulisan dan diwawancarai. Akhirnya sebanyak sekitar 15 orang dari kami yang melamar dikumpulkan di kantor “Tempo” di Senen Jakarta Pusat, siap untuk bekerja dan ditugaskan. Tapi saya tidak jadi bekerja di Koran “Tempo”. Seingat saya saat itu redaktur “Tempo” pak Karni Ilyas, benar yang sekarang ngetop dengan Indonesia Lawyer Club di TV One, bilang : “saudara-saudara kan sekarang siap bekerja, jadi yang masih kuliah silahkan tinggalkan kuliah dan bekerja 100 persen”. Waduh, saya tidak siap meninggalkan kuliah, cita-cita dan janji saya ke orang tua kan mau jadi insinyur. Jadi saya gagal menjadi reporter “Tempo”.

Dari menulis saya juga menjadi juara ke dua lomba menulis bagi mahasiswa ITB, juara satunya Umar Juoro, aktivis mahasiswa ITB yang dari jurusan Fisika Murni. Tapi kemudian membelot dari jurusan Fisika dan menjadi Doktor Ekonomi. Sekali-sekali saat ada isu yang hangat perekonomian kita suka muncul di TV dan menjadi narasumber. Saya juga menjadi juara katagori produktivitas menulis saat Lustrum ITB karena jumlah tulisan saya yang dimuat di media massa paling banyak. Pastilah produktivitas saya juara, kan menulis saat itu merupakan profesi untuk hidup.

Akhirnya pada tahun 1984 saya menerima beasiswa ikatan dinas dari PLN. Bagi saya nilainya sangat besar, yaitu sebesar Rp 60.000,- per bulan. Dengan uang sebesar ini saya bisa “hidup mewah”, dan tidak perlu lagi menulis di media massa untuk mendapat honor. Uang sebesar itu juga dapat menjadikan saya focus untuk menyelesaikan kuliah dan mengerjakan tugas akhir. Tapi efek samping nya proses kreatif saya berkurang. Selanjutnya saya hanya sporadic menulis, termasuk juga selama bekerja di PLN, pastilah jarang menulis. Meskipun memang beberapa kali ada kalanya saya menulis dan dimuat di “Berita PLN”. Atau di berbagai bulletin PLN Unit. Tapi sifatnya bukan dengan tujuan untuk memperoleh honor, meskipun rasanya senang sekali saat dapat honor. Paling tidak merasa memperoleh penghargaan. (ya iyalah, honor kan artinya penghargaan, jadi dapat honor berarti dapat penghargaan atas karya kita).

Sebagai penutup, kita kembali pada bukunya Salman, “menulislah, maka kamu akan kaya” ?.  Benarkah pernyataan tersebut ? Paling tidak dari pengalaman hidup saya, dari menulis bisa membiayai hidup, bisa membiayai kuliah, bahkan bisa pacaran. Dari menulis saya bisa mendapat penghargaan. Jadi memang cukup banyak manfaat menulis itu. Mungkin manfaat-manfaat tersebut bisa mendukung pernyataan bahwa kita bisa kaya dari menulis.

Untuk kaya raya secara materi seperti J.K Rowling atau Andrea Hirata, mungkin ada syarat tambahan berupa usaha dan passion yang kuat. Dan karena passion saya saat itu hanya sekedar “survive”, bisa hidup dan bisa menyelesaikan kuliah, maka saya memperolehnya sesuai tingkat usaha dan “passion” yang saya miliki. Karena setelah mendapat “penghasilan tetap” dari beasiswa ikatan dinas, prioritas dan Passion saya berubah, bukan lagi untuk menulis, namun beralih pada pekerjaan rutin.

Demikianlah sekedar sharing pengalaman hidup. Mudah-mudahan dapat berguna.

Jakarta, 2 September 2013
----------------------------