Bulan Agustus 2013 ini
Indonesia mengalami “Krismon Kecil”.
Mudah-mudahan memang krisis moneternya sudah berlalu. Kecil, kalau kita
bandingkan dengan dengan krisis yang terjadi pada tahun 1997 – 1998. Mungkin
karena kita merasa sudah biasa, dan juga banyak dari kita yang merasakan badai
pada tahun 1998, maka sekarang mulai merasa tenang. Mungkin karena kita bukan
ahli ekonomi dan tidak tahu apa yang terjadi, kok kayaknya rasanya “badai sudah berlalu”. Mudah-mudahan.
Padahal lumayan sekali
, krisis yang terjadi. Selama seminggu, nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika anjlok dari Rp 10.000 menjadi Rp 11.000. Kalau dihitung dari satu atau
dua bulan terakhir, kira-kira terjunnya dari Rp 9.000,- per US Dollar menjadi
Rp 11.000 per US Dolar. Indeks harga saham juga terjun bebas. Saya coba lihat
data, malah pada tanggal 21 Mei 2013 nilainya di angka 5.200. Mungkin nilai
puncaklah. Pada pertengahan Juli di angka 4.700 sampai 4.800. Pagi ini saya
lihat data penutupan IHSG tanggal 26 Agustus 2013 kemarin di angka 4.120. Artinya,
kalau anda punya uang Rp 10 juta dengan kurs Rp 9.000, per USD, maka Rp 10 juta
itu sama dengan 1.111 USD, tapi karena kursnya sekarang Rp 11.000,- maka uang
anda tersebut ekivalen jadi 909 USD, atau turun 18,2 %. Daya beli anda juga
turun sekitar segitu karena kebanyakan barang harganya terkait dengan harga
impor, termasuk juga produk pertanian seperti tempe yang bahan bakunya kacang
kedele.
Kalau uang anda
tersebut diinvestasikan di saham, keadaannya sama juga. Uang atau nilai kekayaan
anda turun dari 5.000 ke 4.120 atau 17,6 persen. Tapi memang itulah saham, ada
risiko naik dan ada kalanya turun. Makanya kalau kita mau beli saham, pasti ada
peringatannya : investasi ini adalah investasi yang berisiko. Bisa naik atau
untung, namun ada kalanya saat ekonomi memburuk, nilai saham juga ikut turun.
Kalau nilai saham yang kita miliki melonjak naik, maka kita akan
bersorak-sorai.
Terlalu banyak latar
belakang atau pembukaannya nih. Sebenarnya saya mau bicara tentang biodiesel. Karena
pada hari Jumat tanggal 23 Agustus 2013, pemerintah telah mengumumkan 4 paket
kebijakan ekonomi untuk mengatasi guncangan perekonomian yang terjadi sejak
awal Agustus. Salah satu paket ekonmi tersebut adalah dengan cara memperbaiki
deficit transakasi berjalan dan memperbaiki nilai rupiah. Hal tersebut
dilakukan dengan meningkatkan ekspor dan mengurangi nilai impor. Salah satunya disebutkan dengan cara
menurunkan impor migas dengan memperbesar biodiesel dalam solar untuk
mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor.
Difinisi
Biodiesel
Berbicara tentang
biodiesel, saya coba cari referensinya, yaitu ke Peraturan Menteri ESDM nomor
32 tahun 2008 tentang Penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga bahan bakar nabati
(biofuel) sebagai bahan bakar lain. Saya ambil definisi-definisi dari Permen
tersebut sebagai berikut :
·
Bahan bakar nabati (biofuel) adalah
bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan atau dihasilkan dari
bahan-bahan organic lain.
· Biodiesel (B100) adalah produk Fatty
Acid Methyl Ester (FAME) atau Mono Alkyl Ester yang dihasilkan dari bahan baku
hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara esterifikasi· Bioetanol
(E100) adalah produk etanol yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan
biomasa lainnya yang diproses secara
bioteknologi.Sedang ·
Minyak
Nabati Murni (0100) adalah produk yang dihasilkan dari bahan baku nabati yang
diproses secara mekanik dan fermentasi.
Jadi
bahan bakar nabati itu ada yang namanya biodiesel, bioetanol dan minyak nabati
murni. Disini kita hanya bahas yang namanya biodiesel. Supaya lebih fokus.
Untuk biodiesel ini saya punya beberapa bahan bacaan atau literature yang sudah
saya pelajari. Dalam peraturan menteri
ESDM tersebut diatur bahwa badan usaha pemegang izin usaha niaga bahan bakar
minyak dan pengguna langsung bahan bakar minyak wajib menggunakan bahan bakar
nabati. Khususnya untuk pemakaian biodiesel diatur tahapan sebagai berikut :
Pentahapan
kewajiban minimal pemanfaatan Biodiesel (B100)
Jenis
Sektor
|
Januari
2009
|
Januari
2010
|
Januari
2015
|
Januari
2020
|
Januari
2025
|
Transportasi PSO
|
1%
|
2,5%
|
5%
|
10%
|
20%
|
Transportasi Non PSO
|
1%
|
3%
|
7%
|
10%
|
20%
|
Industri dan Komersial
|
2,5%
|
5%
|
10%
|
15%
|
20%
|
Pembangkit Listrik
|
0,25%
|
1%
|
10%
|
15%
|
20%
|
Biodiesel adalah bahan bakar yang memiliki karakteristik mirip HSD (High
Speed Diesel) atau lebih kita kenal sebagai solar. Jadi untuk memanfaatkannya
biodiesel dicampur dengan solar dan dipakai sebagai bahan bakar, baik untuk
kendaraan (transportasi) yang mempergunakan mesin (engine) diesel, mesin
industri atau mesin diesel pembangkit listrik.
Proses pabrikasi
bio diesel dilaksanakan dengan mengkonversi minyak tumbuhan dan atau lemak
menjadi fatty acid methyl esters (FAME) dengan reaksi tranesterfirication (Sumber :
PLN Puslitbang, Laporan Penelitian Biosolar, 2007).
Jadi
dari gambar skema di atas terlihat bahwa bahan baku untuk biodiesel dapat
berasal dari Vegetable Oil atau Animal
Fat. Namun umumnya berasal dari vegetable oil yang tersedia cukup banyak. Hasil
dari proses esterifikasi tersebut adalah Biodiesel murni (Pure Biodiesel) atau singkatnya
disebut sebagai B100. Nah, campuran antara Biodiesel murni disebut sesuai
dengan kadar biodiesel murni pada campuran tersebut. Sehingga kalau campurannya
B100 (FAME) sebanyak 5 % dan minyak solar (HSD) sebanyak 95 %, maka disebut
B5. Kalau B10 berarti campuran FAME 10 %
dan HSD 90 %.
Penggunaan
Biodiesel sebagai Bahan Bakar
Pada prakteknya penggunaan biodiesel secara teknis telah
teruji dan dapat dipakai sebagai bahan bakar pengganti minyak solar (HSD). Untuk sektor transportasi pada berbagai SPBU
umumnya dijual B5 atau B7,5. Jadi untuk mesin atau engine diesel penggunaan
biodiesel sampai kadar 7,5 % FAME tidak akan mengalami masalah. Di lingkungan
PLN juga pernah dilakukan uji coba B5 sebagai bahan bakar pembangkit listrik
tenaga diesel (PLTD) dan dapat bertoperasi dengan baik. Bahkan PLN Puslitbang bersama
dengan PLN Sektor Bandar Lampung pernah mengadakan penelitian uji coba operasi PLTD
dengan bahan bakar PPO (Pure Palm Oil) dengan campuran PPO sampai 80 %, dan
PLTD masih dapat beroperasi dengan baik.
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel |
Memang untuk dapat lebih meyakinkan, untuk mengoperasikan mesin diesel
dengan campuran biodiesel dengan kandungan FAME yang tinggi, masih perlu
dilakukan uji coba dan penelitian lanjutan sehingga dapat diyakini bahwa secara
teknis pengoperasian tersebut baik dan tidak menimbulkan kerusakan mesin atau
material. Namun paling tidak telah teruji penambahan B100 sampai misalnya kadar
20 atau 30 persen tidak menimbulkan kerusakan pada pembangkit listrik tenaga
diesel. Dengan demikian sebagai bahan
bakar engine atau mesin diesel pada kendaraan bermotor (transportasi) serta
sektor industri dengan sendirinya akan dapat menggunakan Biosolar sampai kadar
20 atau 30 %.
Namun pada pembangkit listrik, selain untuk pembangkit listrik tenaga
diesel (PLTD), HSD juga dipakai sebagai bahan bakar pada PLTG (pembangkit
listrik tenaga gas). Pada tahun 2009 PLN pernah melakukan uji coba menggunakan
B5 sebagai bahan bakar PLTG. Namun hasilnya tidak memuaskan karena penggunaan
B5 sebagai bahan bakar PLTG menyebabkan turunnya daya mampu serta terjadinya
erosi pada bilah sudu PLTG yang jika berlanjut berpotensi menyebabkan kegagalan
komponen utama turbin gas. Dengan demikian untuk penggunaan Biosolar sebagai
bahan bakar PLTG masih memerlukan penelitian yang mendalam sebelum diputuskan
metode penggunaan yang aman terhadap komponen mesin serta ekonomis.
Namun memang sebenarnya sasaran PLTG bukanlah beroperasi
dengan bahan bakar HSD. PLTG dengan bahan bakar HSD sangat mahal dan harus
dihindari. PLTG haruslah beroperasi dengan bahan bakar gas yang biayanya jauh
lebih murah. Jadi opsinya adalah bagaimana seoptimal mungkin mengganti bahan
bakar HSD pada PLTD dengan Biosolar , termasuk juga memakai biosolar dengan
kadar FAME yang semakin tinggi.
Prospek Penggunaan Biodiesel
Mengacu pada pentahapan pemakaian biodiesel yang tercantum pada Peraturan
Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 di atas, maka tercantum untuk pembangkit
listrik tahapan sebagai berikut : tahun 2010 : 1 % , tahun 2015 : 10 % , tahun
2020 : 15 %, dan tahun 2025 : 20 %. Kalau dijabarkan untuk tahun 2013 sekarang, jika memakai angka yang sama dengan
tahun 2010 yaitu 1 %, mungkin masih tercapai. Penggunaan B100 sebesar 1 % kan
artinya sebanyak 20 % bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga diesel
menggunakan B5 serta 100 % PLTG menggunakan bahan bakar gas atau dilarang
memakai HSD. Sebenarnya target yang realistis juga, meskipun hal tersebut
tergantung ketersediaan B5, apakah tersedia di lokasi PLTD yang umumnya berada
di kota-kota kecil di luar pulau Jawa.
Namun untuk target bulan Januari tahun 2015, sangat luar biasa besarnya,
yaitu naik sepuluh kali lipat, menjadi 10 % penggunaan B100. Tanpa krisis
finansial saja telah luarbiasa besarnya, apalagi dengan adanya krisis finansial
dimana pemerintah khusus meluncurkan program untuk meningkatkan penggunaan
biodiesel. Arti 10 % penggunaan B100 tersebut sama dengan 100 % PLTD beroperasi
dengan bahan bakar B10. Gatra News pada
tanggal 25 Agustus 2013 malah memberitakan bahwa Wakil Menteri ESDM
menyampaikan bahwa pemerintah akan mewajibkan PLN dan industri untuk memakai
FAME dalam persentase tertentu. Kalau 40 % dari solar yang dipakai PLN sebanyak
5-6 juta kiloliter diganti dengan FAME, maka angkanya 2,4 juta kiloliter
sehingga akan banyak mengurangi subsidi. (dari
: http://www.gatra.com/ekonomi-1/37196-tekan-impor-solar-pemerintah-paksa-bumn-pakai-biosolar.html tanggal 27 Agustus 2013).
Dengan demikian memang suatu tantangan yang sangat besar untuk memenuhi
target pentahapan penggunaan biosolar yang tercantum pada peraturan menteri
ESDM no 32 tahun 2008 tersebut. Apalagi dengan adanya rencana untuk menerbitkan
revisi yang akan menaikkan target penggunaan biosolar tersebut sebagai upaya
untuk mengurangi penggunaan devisa untuk impor bahan bakar. Januari tahun 2015
hanya tinggal 17 bulan lagi. Mampukah tantangan tersebut dipenuhi. Waktulah
yang akan menjawab. Semoga.
Jakarta, 27 Agustus 2013.
-------------------------------