PLTA atau pembangkit listrik
tenaga air adalah pembangkit listrik yang dibangun dengan memanfaatkan energi
pitensial dari aliran air. Pada prinsipnya pada suatu PLTA besar daya listrik
yang dapat dibangkitkan oleh PLTA ditentukan oleh 2 parameter utama, yaitu
besar debir aliran air (Q) serta tinggi jatuh atau Head, H. Kedua parameter
tersebut (debit air dan Head) berbanding lurus dengan besar daya yang dapat
dibangkitkan oleh PLTA tersebut. Dengan demikian pada pengembangan suatu PLTA
diusahakan sedemikian rupa agar hasil perkalian antara kedua parameter tersebut
sebesar mungkin.
Untuk memperoleh hasil yang
optimal tersebut maka pada suatu PLTA, terlebih lagi pada pengembangan PLTA
berskala besar, biasanya dilakukan dengan cara membendung aliran sungai
sehingga membentuk genangan atau waduk. Dampak terbentuknya waduk tersebut
sangat signifikan, yaitu berupa tergenangnya daratan di sekitar sungai akibat
naiknya muka air dan mengenangi area di sekitar sungai. Cakupan daerah yang
dapat tergenang akibat dibangunnya suatu bendungan tersebut dapat sangat luas.
Misalnya untuk pembangunan PLTA Cirata diperlukan pembebasan tanah sekitar
7.000 hektar, sedangkan pada PLTA Saguling dibebaskan tanah sekitar 5.000
hektar.
Adanya pembebasan lahan yang
menjadi daerah tergenang pada suatu PLTA merupakan potensi konflik yang sangat
besar antara pengelola pembangunan PLTA dengan pihak masyarakat yang menempati
lahan yang harus dibebaskan untuk kepentingan pembangunan PLTA. Pada
pembangunan PLTA Cirata dan saguling misalnya jumlah penduduk yang harus
direlokasi dari lokasi proyek masing-masingnya berjumlah sekitar 10.000 orang.
Suatu jumlah yang sangat besar mengingat besarnya kepentingan akan
keberlangsungan kehidupan para penduduk tersebut. Risiko konflik tersebut
sangat besar mengingat terdapat ribuan orang yang menghadapi ketidak pastian
masa depan kehidupannya. Adanya penggenangan tersebut juga akan menyebabkan
lahan pertanian, baik sawah maupun ladang akan tergenang.
Penulis yang pada tahun 1985
mulai bertugas di PT PLN dan ditempatkan di Proyek PLTA Cirata, meskipun tidak
terlibat langsung pada proses pembebasan tanah serta proses penyelesaian
konflik pada pembebasan tanah dan relokasi penduduk pada kedua proyek PLTA
tersebut, dapat mengamati langkah-langkah dan pendekatan yang dilakukan oleh
para senior di PLN Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat dalam mengatasi
permasalahan konflik sosial yang mungkin timbul akibat proses pembebasan tanah
pada kedua proyek PLTA tersebut.
ANALISA PERMASALAHAN
Potensi konflik sosial
antara pihak PLN yang akan membangun PLTA Saguling dan Cirata dengan pihak
masyarakat yang berada pada daerah genangan waduk serta lokasi lain yang akan
dibangun instalasi PLTA , secara umum adalah sebagai berikut :
1. Untuk pembangunan PLTA PLN memerlukan tanah yang akan digenangi
sehingga membentuk waduk penyimpan air dengan luas area yang mencapai ribuan
hektar, sementara pada lokasi tersebut telah bermukim dan bekerja sebagai
tempat mencari nafkah ribuan kepala keluarga sebagai penghuni.
2. Masyarakat akan kehilangan lapangan kerja yang selama ini digelutinya
yaitu sebagian besar sebagai petani baik di sawah maupun di ladang. Bagi para
petani yang sebagian besar merupakan petani tradisional dan berpendidikan
umumnya rendah, merupakan hal yang tidak mudah untuk beralih tempat tinggal dan
beralih pekerjaan, karena mereka tidak siap untuk mengalami perubahan yang
drastis.
3. Masyarakat akan kehilangan kampung halaman serta kekerabatan yang erat
antara penduduk di kampung yang sama. Bagi masyarakat tradisional di pedesaan ,
adanya kekerabatan tersebut sangat penting bagi kehidupan sosial dan budayanya.
Jika mereka dipindahkan ke berbagai daerah maka akan merupakan hal yang sangat
berat menghadapi kehilangan kekerabatan dan kekeluargaan tersebut.
4. Perlu dicarikan alternatif pekerjaan baru bagi ribuan masyarakat yang
kehilangan pekerjaaan dan mata pencaharian di bidang pertanian akibat tergenangnya
lahan mereka akibat proyek PLTA Saguling dan Cirata tersebut. Namun hal
tersebut tidak mudah karena berbedanya kultur dan budaya serta keterampilan
yang ahrus dikuasa pada pekerjaan yang baru tersebut.
RESOLUSI KONFLIK
Berdasarkan pengamatan penulis,
para senior di PLN Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat pada saat
pembangunan proyek PLTA Cirata dan Saguling telah melaksanakan berbagai metode
sehingga dapat mencegah berbagai potensi konflik yang cukup besar sehingga
tidak terjadi eskalasi yang berpotensi menjadi khaos (kerusuhan), bahkan dapat
meredamnya sehingga kedua proyek PLTA terbesar di Indonesia tersebut (PLTA
Saguling berkapasitas 700 MW dan PLTA Cirata berkapasitas 1.000 MW) dapat
berjalan dengan lancar tanpa menimbulkan konflik pada pelaksanaan dan selesai
tepat pada waktunya.
Langkah-langkah yang
dilakukan dalam melakukan resolusi konflik pada kedua proyek tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Para penduduk diberi alternatif untuk memilih selain melakukan
trasmigrasi ke lain pulau (yang sangat berat bagi budaya kekeluargaan dan
kemasyarakatan penduduk) , dengan kemungkinan atau alternatif relokasi ke
lokasi yang masih di propinsi Jawa Barat, seperti ke kabupaten Sukabumi.
Sehingga tidak terlalu jauh dari lokasi asal mereka.
2. Pengelola proyek melaksanakan pelatihan keterampilan pada penduduk
berupa pelatihan dalam bidang perikanan jaring terapung yang akan dikembangkan
pada lokasi waduk PLTA Saguling dan Cirata. Adanya pelatihan keterampilan
tersebut akan menyebabkan penduduk setempat tetap dapat mencari nafkah dan
tidak perlu pindah jauh dari lokasi kampung halamannya semula.
3. Dilakukan pendekatan yang intensif kepada tokoh-tokoh kunci pada
pmasyarakat berupa alim ulama serta tokoh-tokoh di desa dan para aparat desa
seperti kepala desa, lurah serta para pemimpin informal.
4. Pelaksanaan berbagai pembangunan di sekitar lokasi waduk seperti sarana
ibadah, balai desa, perairan untuk irigasi, sarana air bersih seperti fasilitas
MCK.
5. Pelaksanaan dan pembangunan jalan-jalan dan jembatan-jembatan baru serta
dilakukan relokasi jalan dan jembatan sehingga kampung-kampung dan desa yang
berada di sekitar lokasi waduk PLTA Saguling dan Cirata tidak terisolasi akibat
tergenangnya waduk PLTA Cirata.
6. Secara umum dalam resolusi konflik tersebut PLN PIKITDRO JABAR telah
menerapkan prinsip-prinsip untuk menurunkan tingkat resistansi oleh penduduk
terhadap pembangunan PLTA oleh PLN tersebut, yaitu dengan sesedikit mungkin
penggunaan power (aparat polisi dan militer), mengurangi Culture Gap (dengan
menyediakan alternatif lapangan kerja dan pelatihan serta alternatif relokasi
pada lokasi sekitar proyek), serta waktu yang cukup untuk sosialisasi dan
proses pemindahan penduduk.
7. Dalam berbagai proses diusahakan untuk mencapai kompromi yang saling
menguntungkan (win-win solution) baik bagi PLN maupun bagi masyrakat.
PENUTUP
Setelah sekitar 25 tahun
PLTA Saguling dan Cirata beroperasi (Saguling beroperasi tahun 1985, Cirata
beroperasi tahun 1988), tidak terlihat timbulnya konflik di sekitar kedua PLTA
terbesar di Indonesia tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena pada proses
pelaksanaannya dan di awal pembangunan kedua PLTA tersebut telah dilakukan
proses resolusi konflik secara kompromi dengan prinsip win-win solution.
Pada tahun tahun terakhir
ini , akibat semakin padatnya pertumbuhan penduduk di sekitar lokasi waduk,
serta semakin banyaknya kolam jaring apung yang diusahakan penduduk di kedua
waduk, timbul potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
waduk. Baik antara pihak PLN dengan penduduk setempat maupun secara internal di
antara warga masyarakat pemanfaat waduk. Hal tersebut merupakan suatu gejala
yang perlu diantisipasi oleh pihak PLN agar terjadi resolusi yang baik terhadap
potensi konflik akibat berbagai kepentingan yang berbeda.
----------
Pandaan, 10 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar