Negara Indonesia
memerlukan energi listrik yang semakin lama semakin besar jumlahnya. Setelah
tahun 2011 dan tahun 2012 yang lalu kita jarang mendengar adanya pemadaman atau
defisit listrik di Indonesia. Tahun ini di Sumatra Utara muncul lagi giliran
pemadaman listrik. Penyebabnya bisa karena terjadi kerusakan pembangkit listrik
atau gangguan pada jaringan transmisi. Tapi masyarakat tahunya mereka mengalami
giliran pemadaman, mereka tidak memerlukan penjelasan teknis yang kadang-kadang
terlalu rumit.
Dengan adanya
kekurangan energi listrik, maka banyak timbul pertanyaan, darimana sumber energi
listrik itu ? Dari minyak bumi, dari batubara,
panas bumi, tenaga air atau energi nuklir ? Bahkan sering timbul
pertanyaan , kenapa kita tidak memanfaatkan tenaga matahari sebagai pembangkit
tenaga listrik ? kan cahaya matahari dapat kita peroleh secara gratis ? Atau dari
tenaga angin kan juga juga gratis ?
Pertanyaannya gampang,
kenapa enggak pakai tenaga angin yang gratis dimana-mana ? Tapi jawabnya sulit
juga, masak mau dijawab anginnya cuma sedikit. Padahal sering juga ada
bermacam-macam angin seperti angin puting beliung, angin gending, atau angin
bahorok yang sejak saya kecil dulu sekolah di SD Pancabudi Medan, sudah
tercantum pada buku pelajaran di sekolah.
Sekarang nih tentang energi
nuklir. Karena begitu perlunya dan pentingnya ketersediaan energi listrik bagi
masyarakat, maka berkembang wacana agar Indonesia segera membangun PLTN.
Wacananya sih sudah dari dulu, malah penulis ingat waktu masih kuliah di ITB
Pak Habibie sebagai menteri Ristek sudah membuat rencana induknya. Waktu itu
tahun 1983, sudah ada rencana pada tahun 1990 pembangunan PLTN pertama
Indonesia akan segera dimulai dan pada tahun 1997 mulai beroperasi. Tapi memang
masalah nya kompleks, untuk PLTN yang harus dipertimbangkan bukan hanya aspek
teknologi, namun lebih banyak faktor-faktor lain seperti financial dan social
politik. Jadinya memang sampai sekarang PLTN belum dibangun di Indonesia.
Sebabnya karena masalah yang benar-benar rumit tersebut.
Jika terjadi krisis
listrik yang meluas biasanya isu tentang kemungkinan dibangun PLTN di Indonesia
rame lagi. Tapi ternyata tidak. Karena pada 11 Maret 2013 terjadi bencana Tsunami
di Jepang , yang berakibat rusaknya PLTN Fukushima. Bencana pada PLTN yang
berkapasitas total sebesar 4.700 MW tersebut sampai sekarang masih merupakan
masalah besar bagi Jepang dan Negara-negara yang berdekatan karena kebocoran
nuklir ke lingkungan masih belum dapat diatasi, malah sampai sekarang masih
sering muncul beritanya. Misalnya yang terbaru pada akhir September 2013
terjadi lagi insiden tumpahnya empat ton air radioaktif ke tanah.
Padahal sebelum insiden
bencana nuklir tersebut berbagai wacana muncul untuk membangun PLTN di
Kalimantan atau di Bangka Belitung untuk mengatasi adanya krisis listrik di
berbagai daerah tersebut. Kelihatannya seperti sederhana prosesnya dan gampang
untuk membangun PLTN, dan diharapkan dapat menjadi obat mujarab yang segera
menjadi penyembuh. Padahal kenyataan tidak mudah, banyak faktor yang harus
dihitung sebelum membangun PLTN yang jauh lebih rumit dibandingkan dengan
membangun pembangkit listrik konvensional seperti PLTU, PLTG atau PLTU.
Pusat
Listrik Tenaga Nuklir
Pusat Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN) sebenarnya mempunyai prinsip kerja yang sama dengan Pusat Listrik
Tenaga Uap (PLTU). Yang menjadi perbedaannya adalah, pada PLTU uap air untuk
menggerakkan turbin uap diperoleh dari pemanasan air dengan membakar batubara
atau bahan bakar minyak (BBM), sedangkan pada PLTN panas untuk menguapkan air
tersebut merupakan hasil reaksi fisi nuklir.
Reaksi nuklir adalah
reaksi yang terjadi pada inti atom. Pada reaksi inti atom tersebut terjadi
kehilangan massa dan berubah menjadi energi yang sangat besar. Yaitu sesuai
dengan hokum kesetaraan energi dan massa dari Einstein yang terkenal : E = m.c2
; dimana E = energi yang
dihasilkan pada reaksi nuklir; m = massa yang hilang dan berubah menjadi energi,
dan c = kecepatan cahaya, yaitu 300.000.000 meter per detik.
Jadi dari rumus di atas
dapat dibayangkan besarnya energi panas yang dihasilkan, karena kecepatan
cahaya adalah suatu angka yang sangat besar. Sebagai gambaran jika suatu PLTU
dengan daya sebesar 400 MW, setiap harinya akan memerlukan BBM sebanyak 1.800
ton, atau batubara seberat 5.000 ton. Namun pada PLTN dengan bahan bakar
nuklir, hanya akan meghabiskan sekitar 1 kg uranium saja.
Namun seperti yang
sama-sama kita ketahui masalahnya tidak sesederhana itu. Nuklir dapat
menghasilkan sejumlah energi yang cukup besar dibandingkan dengan pembangkit
listrik konvensional lainnya, namun pada saat yang sama pengembangan dan
pembangunan PLTN merupakan suatu isu yang controversial, baik di Indonesia
maupun di mancanegara. Hal tersebut mengingat sifat PLTN yang membawa manfaat
yang sangat besar, namun juga berpotensi menimbulkan malapetaka bagi umat
manusia.
Setelah ditemukan rumus
kesetaraan energi dan massa oleh Einstein pada tahun 1905, maka berbagai
penelitian dilakukan oleh para ilmuwan di Negara-negara maju untuk memanfaatkan
potensi energi yang sangat besar tersebut. Penelitian tersebut umumnya
dilakukan secara diam-diam dan rahasia sehingga luput dari perhatian masyarakat
awam. Baru pada bulan Agustus 1945 masyarakat dunia terpana oleh hebatnya energi
nuklir, yang sayangnya kehebatan pemunculan pertama energi nuklir tersebut
bukan dalam bentuk manfaat bagi umat manusia, namun dalam bentuk malapetaka bom
nuklir. Pemunculan energi nuklir yang spektakular tersebut berupa bom yang
secara dahsyat menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki dengan korban jiwa
yang sangat banyak.
Kejadian tersebut
merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi manusia tentang dahsyatnya potensi
tenaga nuklir. Sehingga setiap kali ada rencana untuk memanfaatkan energi
nuklir untuk keperluan umat manusia lainnya, misalnya pada pembangunan PLTN,
selalu timbul pertanyaan, mungkinkah bahaya tersebut akan terulang, bagaimana sistem
pengamanan PLTN terhadap ledakan nuklir ? Serta berapa besar manfaat yang dapat
diperoleh manusia dari PLTN.
Prospek
PLTN di Indonesia
Dalam melihat
kemungkinan pengembangan PLTN di Indonesia aspek pertama yang perlu dihitung
adalah pertimbangan teknis. Pertimbangan awal, misalnya dari kapasitas
terpasang per unit PLTN. Berapa kapasitas PLTN per unit yang sekarang beroperasi
di dunia. Dari data yang ada kebanyakan PLTN yang beroperasi di dunia memiliki
kapsitas yang cukup besar, yaitu berkisar antara 500 sampai 1.000 MW per
unitnya. Misalnya PLTN Fukushima terdiri dari unit 1 (460 MW), unit 2 sampai 5
(4 x 784 MW) dan unit 6 (1.100 MW). Rencana reactor 7 dan 8 ( 2 x 1.380 MW). Di Korea Selatan pada PLTN-PLTN pertama pada
tahun 1972 memiliki kapasitas 576 MW (PLTN Kori-1), dan selanjutnya 637 MW
(PLTN Kori-2 tahun 1977) selanjutnya kapasitasnya makin besar dan berkisar di
sekitar 1.000 MW. Demikian juga di China umumnya mempunyai kapasitas sekitar
1.000 MW. Berbeda dengan India yang banyak memiliki PLTN dengan kapasitas relative
kecil sekitar 200 MW.
Jadi memang kebanyakan
PLTN yang beroperasi di dunia memiliki kapasitas yang besar sekitar 1.000 MW.
Dengan demikian agar PLTN tersebut dapat tersambung dengan sistem tenaga
listrik yang eksisting, maka kapasitas sistem tenaga listrik tersebut harus
cukup besar. Misalnya jika suatu PLTN memiliki kapasitas 1.000 MW, maka minimal
kapasitas sistem tenaga listrik yang ada harus 10.000 MW. Jadi kalau di
Indonesia minimal PLTN tersebut harus beroperasi di pulau Jawa yang daya terpasangnya
saat ini sekitar antara 20.000 sampai 25.000 MW. Dengan kapasitas tersebut
bisalah suatu PLTN sebanyak 2 atau 3 unit dengan kapasitas masing-masing 1.000
MW beroperasi.
Jadi
memang secara teknis jika kapasitas sistem tenaga listriknya masih di sekitar
100 atau 200 MW seperti di Bangka Belitung atau Kalimantan, secara teknis tidak
efektif jika dibangun PLTN konvensional yang
umumnya berkapasitas besar. Memang saat ini beberapa Negara sedang
mengembangkan untuk membuat PLTN berkapasitas kecil, namun masih memerlukan
waktu sebelum PLTN tersebut dapat beroperasi dengan ekonomis, dan terutama
aman.
Untuk penentukan apakah
pembangunan PLTN layak dibangun di pulau Jawa, sebenarnya sejak tahun 1990 an
telah dilakukan berbagai studi dan didapatlah calon untuk membangun PLTN
berlokasi di sekitar gunung Muria Jawa Tengah. Namun ternyata meskipun secara
teknis PLTN dapat dibangun di lokasi tersebut, ternyata pembangunan PLTN tetaplah merupakan suatu isu
yang controversial. Terdapat penolakan dari berbagai pihak yang menyebabkan
sampai saat ini tidak ada keputusan tentang pembangunan PLTN di Indonesia.
Karena memang
pembangunan PLTN meskipun terkait dengan aspek teknis, namun tidak dapat dipisahkan
yaitu masalah social dan ekonomi. Bahkan faktor social ekonomi tersebut sangat
dominan, termasuk juga faktor geopolitik pada saat pembangunan dan
pengoperasian PLTN.
Secara psikologis
dengan adanya kecelakaan di PLTN Chernobyl dua puluh tujuh tahun yang lalu dan
bencana PLTN Fukushima yang masih berlangsung saat ini membuat pembangunan PLTN
menjadi isu yang menakutkan masyarakat dan dunia. Masyarakat tidak akan mudah
untuk menerima pembangunan PLTN di daerahnya atau dekat dengan daerah atau
negaranya. Hal tersebut merupakan suatu gejala yang lazim dikenal sebagai
sindrom NIYB (Not in my backyard). “Silahkan
saja saya setuju untuk membangun PLTN, tapi jangan dekat-dekat halaman saya”.
Mungkin bagi Negara-negara maju yang letaknya jauh dari Indonesia tidak akan
perduli terhadap dampak pembangunan PLTN disini. Bahkan mungkin mendukung penuh
jika pembangunan PLTN tersebut dilaksanakan oleh kontraktor dari Negara
tersebut. Tetapi bagi Negara tetangga yang berdekatan, pembangunan PLTN adalah
merupakan isu yang sangat sensitive.
Disamping itu
penyediaan bahan bakar uranium juga merupakan suatu hal yang krusial atau titik
rawan dalam kelancaran pengoperasian PLTN. Meskipun uranium sebagai bahan bakar
PLTN tersedia cukup banyak di pasar internasional dan harganya kompetitif,
namun untuk membeli atau memperolehnya sangat tergantung pada situasi politik.
Meskipun suatu Negara telah menqandatangani kontrak jangka panjang untuk
pasokan uranium , bukan berarti keadaannya telah aman. Uranium adalah material
sensitive yang untuk memperolehnya membutuhkan “rekomendasi politik” dari
Negara-negara maju yang menguasai dunia, yang mengkhwatirkan terjadinya
penyelundupan bahan bakar PLTN tersebut menjadi bahan bakar nuklir.
Negara-negara penguasa
nuklir tersebut akan sangat takut jika ada Negara baru yang dapat menguasai
teknologi nuklir, sehingga mereka dengan berbagai usaha akan menghambat dan
mencegah kemungkinan tersebut. Jadi memang sangat besar risiko tiba-tiba
pasokan bahan bakar nuklir terhambat karena ada kecurigaan (baik beralasan atau
tidak). Jika hal itu terjadi terpaksalah menerima nasib, PLTN yang sudah
dibangun dengan susah payah dan biaya yang sangat mahal (kalau kapasitasnya
1.000 MW kan angkanya sekitar 20 Triliun) nganggur. Bayangkan betapa ruginya.
Padahal dapatnya dari hutang yang harus terus dibayar cicilannya.
Penutup
Sebagai bagian akhir
dari tulisan ini dapatlah disimpulkan bahwa PLTN memiliki potensi yang besar
untuk mengantisipasi laju pertumbuhan beban tenaga listrik pada sistem
Jawa-Bali di masa depan. Namun pada sisi lainnya pembangunan PLTN juga memiliki
berbagai tantangan dan kendala yang harus diatasi sejak tahap perencanaan,
pembangunan, bahkan pada tahap operasionalnya. Hal tersebut mencakup kendala
teknologi dan tidak kurang juga kendala social, ekonomi dan politik. Baik dari
dalam negeri dan tidak kurang dari luar negeri.
Dari segi teknologi kendala
yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan keamanan PLTN. Juga masih menjadi
pertanyaan (dari sisi teknologi) kemana limbah PLTN harus disimpan sehingga
bahaya radioaktifnya hilang terurai (memerlukan waktu ribuan tahun). Sedangkan
harapan beroperasi komersil PLTN jenis fusi yang ramah terhadap lingkungan
mungkin masih lama sekitar 50 tahun lagi.
Selanjutnya yang sangat
penting adalah bagaimana pertimbangan ekonominya. Apakah secara ekonomi PLTN
tersebut cukup layak dan mampu bersaing dengan pembangkit listrik lainnya
seperti PLTU batubara, PLTG, PLTP dan sebagainya. Hal ini memerlukan
perhitungan dan studi yang rinci serta memasukkan faktor risiko politik dari
Negara-negara nuklir penguasa dunia.
Juga hal yang tidak
boleh dilupakan adalah bagaimana dengannilai sisa (salvage value) pada saat
PLTN tersebut habis umur ekonominya dan tidak beroperasi. Pada pembangkit
listrik jenis lain salvage value tersebut pasti positif, paling tidak bisa jadi
besi tua dan lahannya akan meningkat harganya. Tapi pada PLTN, nilai sisanya
negative dan sangat memberatkan karena harus dapat mengamankan dari bahaya
nuklir selama ribuan tahun.
Singkatnya tidak
gampang untuk memutuskan pembangunan PLTN. Perlu studi dan pertimbangan sangat
matang sebelum mulai melangkah. Atau memang PLTN tidak perlu dibangun.
Bagaimana pendapat anda
?
Jakarta, 2
Oktober 2013
--------------------------