Pada tanggal 12 Januari tahun
2012 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah menerbitkan Peraturan
Daerah No. 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Dengan
telah disahkannya Perda RTRW DKI tersebut maka setiap pembangunan dan
pengembangan di Wilayah DKI sampai tahun 2030 akan mengacu pada Perda tersebut.
Dari sisi ketenagalistrikan, di
wilayah Propinsi DKI terdapat 2 buah pembangkit listrik yang berkapasitas
besar, yaitu Pembangkit Listrik Muara Karang berkapasitas 1.670 Mega Watt, dan Pembangkit Listrik Priok
(2.052 MW). Dengan adanya Perda nomor 1 tahun 2012 tersebut maka perlu
dicermati agar keberadaan Pembangkit Listrik tersebut dapat beroperasi dan
berkelanjutan untuk memasok kebutuhan tenaga listrik pada system tenaga listrik
Jawa-Bali, khususnya untuk wilayah Jakarta. Sinkronisasi tersebut perlu juga dilakukan
dengan rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI yang Perdanya sedang disusun
sebagai rincian dari RTRW di atas.
Sistem Kelistrikan Jakarta
Sistem Tenaga Listrik (Electric
Power System) adalah sistem penyediaan tenaga listrik yang terdiri dari
beberapa pembangkit atau pusat listrik terhubung satu dengan lainnya oleh
jaringan transmisi dengan pusat beban atau jaringan distribusi. Sistem tersebut terdiri atas 3 Sub-sistem,
sebagai berikut :
•
Sub-sistem
Pembangkitan
•
Sub-sistem
Transmisi
•
Sub-sistem
Distribusi
Berdasarkan data tahun 2010,
beban puncak tenaga listrik pada system kelistrikan DKI telah mencapai sekitar
5.500 MW. Untuk memasok kebutuhan listrik tersebut, disalurkan dari 3 buah
Pembangkit , yaitu dari Pembangkit Muara Karang dan Priok yang berlokasi di
Jakarta, serta dari Pembangkit Muara Tawar (8000 MW) yang terletak di Bekasi. Disamping
dari ketiga buah pembangkit tersebut, pasokan listrik untuk wilayah Jakarta
juga dipasok lewat system interkoneksi Jawa-Bali dengan kapasitas 4.000
MW. Dengan demikian dari kapasitas
terpasang tenaga listrik sebesar 8.522 MW yang disiapkan untuk memasok Jakarta
(4.522 dari Pembangkit Muara Karang, Priok dan Muara Tawar, 4.000 MW dari
Sistem Interkoneksi Jawa-Bali), sebanyak 53 % berasal dari 3 pembangkit di
sekitar Jakarta.
Dengan demikian peranan ketiga
pembangkit listrik tersebut untuk memasok kebutuhan listrik Jakarta sangat
besar dan strategis. Jika terjadi gangguan atau perubahan kondisi yang
menyebabkan pembangkit tersebut tidak dapat beroperasi, maka potensi akan
terjadi kekurangan pasokan atau pemadaman listrik cukup besar. Dengan demikian
maka adanya kebutuhan agar operasional pembangkit listrik berjalan baik harus dipenuhi, termasuk juga
dalam pengembangan pembangunan di Jakarta, yang antara lain dilakukan dengan
reklamasi teluk Jakarta.
Kebutuhan Operasional Pembangkit
Listrik
Dalam system ketenagalistrikan berbagai
jenis pembangkit listrik, antara lain PLTU, PLTD, PLTP, PLTG, PLTGU dan PLTA akan beroperasi secara bersamaan dan
terhubung secara interkoneksi untuk memasok listrik ke berbagai Pusat beban.
Pembangkit listrik yang ada di Muara Karang adalah pembangkit listrik tenaga
uap (PLTU) serta pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Ciri khas dari
pembangkit jenis tersebut adalah dalam operasionalnya memerlukan bahan bakar,
baik bahan bakar gas maupun BBM (PLTU juga dapat berbahan bakar batubara, namun
khusus untuk Muara Karang dan Priok, bahan bakarnya gas dan BBM).
Dalam pengoperasiannya PLTU dan
PLTGU juga memerlukan air baku yang akan dipanaskan di dalam boiler (ketel uap)
sehingga berubah menjadi uap air yang akan memutar turbin uap yang menggerakkan
generator sehingga menghasilkan listrik. Setelah keluar dari turbin, uap air tersebut didinginkan pada kondensor
sehingga berubah menjadi air dan kembali menjalani siklus yang sama.
Untuk mendinginkan uap air
tersebut, kondensor memerlukan sirkulasi air pendingin yang jumlahnya cukup
banyak yang diambil dari air laut. Air laut yang telah melewati kondensor maka
temperaturnya akan naik sehingga perlu dikembalikan ke laut untuk didinginkan.
Tentunya antara air yang dingin (sebagai intake air pendingin) dengan air yang
panas yang keluar dari kondensor harus terpisah jauh dan tidak tercampur,
karena akan mengakibatkan temperatur air pendingin akan semakin panas dan
efisiensi mesin turun. Bahkan jika temperatur naik lebih panas maka pembangkit
listrik dapat padam.
Kebutuhan operasional yang lain
dari pembamngkit listrik adalah adanya keamanan dalam penyaluran tenaga
listrik, yaitu tersedianya saluran udara transmisi tegangan tinggi (SUTT) maupun
saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) yang akan menyalurkan energy listrik
yang dihasilkan ke pusat-pusat beban.
Pengaruh Reklamasi
Dari Perda no. 1 tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah DKI, terdapat rencana bangunan infrastruktur yang
akan terkait dengan operasi pembangkit listrik di Jakarta, yaitu akan
dibangunnya tanggul laut (giant sea wall) serta reklamasi di teluk Jakarta. Reklamasi
tersebut berupa kegiatan pengurugan pada laut di teluk Jakarta sehingga
terbentuk daratan atau pulau-pulau yang akan dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan. Dalam beberapa kali sosialisasi yang diselenggarakan oleh Pemda DKI
telah disampaikan konsep atau draft peta reklamasi pantai utara Jakarta.
Sangatlah penting agar rencana untuk reklamasi pantai Utara Jakarta tersebut
sejalan dengan kebutuhan operasional pembangkit listrik Muara Karang dan Priok.
Secara garis besar mengingat
untuk operasional pembangkit listrik memerlukan air pendingin yang besar,
misalnya untuk pembangkit Muara Karang diperlukan sirkulasi air laut sebesar 190.000
meter kubik per jam. Air tersebut harus
dapat diambil dari laut dengan ruang bebas yang luas, selanjutnya dipakai
pembangkit listrik dan dikembalikan ke laut dengan lokasi yangt berbeda dan
tidak boleh bercampur. Dengan demikian jika dilaksanakan reklamasi dan
membentuk pulau di dekat lokasi PLTU, maka selat antara pembangkit listrik
dengan pulau harus cukup lebar. Demikian juga harus dibentuk rute pembuangan
air panas dengan spasi yang cukup.
Adanya reklamasi dan pembuatan
giant sea wall juga harus memperhitungkan kebutuhan pasokan bahan bakar untuk
pembangkit listrik, baik pasokan bahan bakar yang dipasok dari melalui pipa,
maupun bahan bakar yang diangkut oleh kapal-kapal. Dengan demikian perlu
diperhitungkan akses masuk kapal-kapal ke dermaga di lokasi pembangkit serta
ruang untuk manufer kapal pengangkut bahan bakar.
Dengan terpenuhinya kebutuhan
operasional pembangkit listrik tersebut dan menyelaraskan RDTR Jakarta, maka berarti
kelangsungan pembangkit listrik di Jakarta akan tetap berproduksi, dan dengan
sendirinya akan mendukung kelangsungan pasokan listrik bagi Jakarta.
--------------------------
Tulisan lain terkait :