Silahkan Klik Topik Lainnya :
Kegiatan Lingkungan dan Fakultas Teknik, Wisata Padang Sumatra Barat, Umroh Makkah Madinah, Wisata Singapore, Wisata Phuket Thailand, Wisata Karimunjawa, Wisata Malang Bromo, Wisata Ende Flores, Wisata Tidung Kepulauan Seribu, Wisata Pangandaran, Wisata Bandung, Wisata Malang Batu, Wisata Melaka Kuala Lumpur, Wisata Penang Malaysia
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) digolongkan sebagai pembangkit listrik pembangkit listrik tenaga thermal yang mengubah energi kimia dalam bahan bakar menjadi energi listrik. Bahan bakar pada PLTU dapat berupa bahan bakar padat (batubara), cair (BBM) serta gas.
Pada PLTU dengan bahan bakar
batubara. Proses konversi energi berlangsung dari batubara menjadi listrik
tersebut dapat dibagi dalam 3 tahap :
- Tahap pertama, terjadi pada boiler yang merubah energi kimia batubara menjadi uap bertekanan dan temperature tinggi.
- Tahap kedua berlangsung pada turbin uap yang merubah energi uap menjadi energi putaran mekanik.
- Tahap ketiga pada generator yang mengubah energi putaran menjadi listrik.
Agar dapat menghasilkan listrik secara
optimal dan efisien, maka suatu PLTU batubara didesain untuk menggunakan
batubara dengan kadar air (moisture) dan nilai kalor (heating value) tertentu. Jika digunakan batubara dengan kadar air dan nilai
kalor di bawah spesifikasi pembangkit, maka akan berpengaruh pada performa dan
emisi yang dihasilkan. Artinya kapasitas dan efisiensi akan turun, sedangkan
emisi CO2 dan SO2 naik.
Jenis-jenis Batubara
Batubara
dibedakan berdasarkan nilai kalor serta lama proses pembentukannya. Pengelompokan
ini menunjukkan kualitas batubara yang akan membedakan nilai ekonomis serta
kegunaan batubara tersebut. Terdapat empat jenis batubara mulai dari kualitas
rendah hingga tinggi, yaitu: lignit, sub-bituminous, bituminous, dan antrasit.
Di bawah ini ditunjukkan secara singkat perbedaan keempat jenis batubara
tersebut.
1.
Lignit atau sering disebut
sebagai brown coal. Batubara ini
merupakan batubara kelas rendah dengan nilai kalor
kurang dari 4165 kcal/kg.
2.
Sub-bituminous.adalah
batubara yang memiliki sifat-sifat fisik di antara batubara jenis lignit dan
bituminous. Batubara
sub-bituminous memiliki nilai kalor 4166 kcal /kg hingga 5700 kcal/kg, dan
sering digunakan digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap
3.
Bituminous. adalah batubara dengan densitas tinggi, berwarna hitam atau
coklat gelap, umumnya mengkilap dan keras dan juga biasa digunakan untuk proses
pemanasan. Bituminous memiliki nilai kalor 5700
kcal/kg
hingga 6900 kcal/kg.
4.
Antrasit, adalah batubara kualitas terbaik tinggi dan keras. Nilai
kalor batubara jenis ini lebih dari 6900 kcal/kg.
Ciri dari batubara kelas
rendah seperti lignit dan subbituminous adalah kandungan air yang cukup tinggi
dibandingkan dengan batubara kelas di atasnya, yaitu 25 sampai 40 % pada batubara lignit ,
dan 15 sampai 30 % pada sub-bituminous.
Kadar
air tinggi batubara yang dipakai sebagai bahan bakar PLTU dapat mengakibatkan
kesulitan fuel handling dan akan
berpengaruh pada laju aliran kalor, laju aliran massa dari emisi gas buang, dan
juga konsumsi air yang dibutuhkan untuk pendinginan evaporative.
Secara spesifik pemakaian batubara lignit dengan kelembaban 25 sd
40 % akan menyebabkan rendahnya heating value, Heat rate naik, stack flue gas
dan stack loss meningkat, listrik pemakaian sendiri naik, effisiensi pembangkit
turun, berkurangnya kapasitas mill, serta naiknya biaya pemeliharaan.
Dengan
adanya permasalahan tersebut di atasa, maka diperlukan upaya untuk menaikkan
nilai kalor bahan bakar batubara sehingga sesuai dengan spesifikasi yang
diperlukan untuk memasok pembangkit. Salah satu upaya yang dapat dilaksanakan
adalah dengan melakukan proses pengeringan batubara (coal drying) untuk
mengurangi kandungan air agar nilai kalornya naik.
Menurut data dari Indonesia Coal Industri Outlook
2011, jumlah sumberdaya batubara indonesia adalah sebesar 104,94 milyar ton.
Sedangkan TSK dan Sojits Corporation pada Workshop Clean Coal Technology 2011 menyampaikan
bahwa komposisi sumberdaya batubara tersebut terdiri dari lignit 58,7 %,
sub-bituminous 26,7 %, bituminous 14,3 %, dan antrasit sebesar 0,3 %.
Sedangkan menurut Bart Lucarelli pada
Cleaner Coal Workshop 19-21 August 2008 Ha Long City, Viet Nam , saat
ini banyak perusahaan batubara Indonesia yang mengatakan bahwa batubara sub -bituminous mereka telah habis terjual.
Dengan demikian akan banyak PLTU yang tidak dapat
beroperasi secara optimal karena tidak tersedia batubara dengan nilai kalor dan
kadar air sesuai dengan spesifikasi tersebut.
Namun
mengingat banyaknya kerugian jika PLTU beroperasi dengan batubara yang nilai
kalornya dibawah nilai kalor desain, maka alternatif yang cukup menarik adalah
dengan teknologi pengering batubara.
Dengan demikian maka nilai kalor batubara dapat dinaikkan sampai nilai kalor
desain boiler PLTU.
Teknologi Pengering Batubara
Secara
internasional, meskipun penelitian telah sejak lama dilaksanakan, namun
aplikasi pengering tersebut pada PLTU juga belum banyak dilakukan. Hal tersebut
disebabkan pada masa yang lalu belum terjadi kelangkaan pada batubara kalori
tinggi. Baru pada tahun-tahun terakhir dengan semakin banyaknya pembangkit
dengan bahan bakar batubara, maka cadangan batubara kalori tinggi berkurang.
Hal tersebutlah yang mendorong pengembangan teknologi pengering batubara untuk
memanfaatkan batubara kalori rendah.
Saat ini
beberapa teknologi Pengering Batubara yang tersedia adalah sebagai tabel berikut
: (Bart Lucarelli,
2008)
Teknologi
|
Sumber Energi Primer
|
Company
|
Fluidized
Bed Dryer
|
Waste heat from power plant condenser
(~50 °C), aux load for fans & pumps
|
Great River
Energy (USA)
Lehigh University (USA)
|
Fluidized
Bed Dryer
|
Low temperature steam from power plant
turbine; aux. load for fans & pumps
|
RWE (WTA Process)
Alsthom Power
|
BinderlessBriquetter
|
Heat from burning coal in furnace
-flash dryer
|
White Energy (Australia)
|
PyrolysisSystem
|
Both heat and power from power plant
|
Evergreen Energy (USA)
|
UBC Process
|
Power & Kerosene as Binder for
briquettes
|
Kobe Steel
|
Microwave Dryer
|
Power –lots of it!
|
CoalTek(USA)
AMTECH (USA)
|
This
Drying System Uses a Combination of Thermal Energy from Boiler and
Condenser Cooling Water
as the Heat Source for Coal Drying
Alat
Pengering batubara di Indonesia
Sampai
saat ini belum banyak terdapat alat pengering batubara pada PLTU di Indonesia.
Dari beberapa contoh yang dapat kami himpun, adalah sebagai berikut :
- PLTU Simpang Belimbing di Muara Enim, Sumatra Selatan
PLTU Simpang Belimbing yang mulai beroperasi pada
akhir tahun 2011 adalah PLTU milik Swasta dengan kapasitas 2 x 150 MW. PLTU tersebut merupakan PLTU mulut tambang
dengan bahan bakar batubara yang ditambang pada lokasi sekitar PLTU. Namun
karena nilai kalor batubara tersebut tergolong rendah dan kadar air tinggi,
maka pada PLTU tersebut dibangun alat pengering batubara. Dengan adanya alat
pengering batubara tersebut maka nilai kalor batubara tersebut dapat
ditingkatkan sehingga sesuai dengan spesifikasi teknis boiler.
PLTU Simpang Belimbing |
- PLTU Ombilin, Sawah lunto
Alat pengering batubara di PLTU Ombilin dimiliki oleh
perusahaan swasta yang memasok batubara untuk PLTU. Perusahaan tersebut memiliki kuasa tambang batubara dengan
nilai kalor sebesar (+
3900 kkal/kg yang tidak memenuhi
spesifikasi batubara untuk PLTU Ombilin. Agar batubara tersebut dapat memenuhi
syarat untuk PLTU Ombilin, maka perusahaan tersebut membeli alat pengering
batubara dari China, yang dapat menaikkan nilai kalor batubara menjadi 5.400
kcal/ kg. Dengan metoda upgrading
tersebut, maka perusahaan tersebut dapat memasok batubara sebanyak 20.000 Ton/Bulan atau seperempat dari
kebutuhan PLTU.
Alat yang beroperasi
sejak bulan Juli 2012 tersebut merupakan jenis direct contact, dimana sumber panas bersinggungan langsung dengan batubara kalori rendah
(Lignite, Sub Bituminus), sedangkan panas untuk pengeringan memakai gas buang (flue gas) dari pembakaran batubara di furnace
- PLTU Labuan , Banten
PLTU Labuan Banten adalah PLTU berkapasitas 2 x 315
MW yang dirancang untuk beroperasi dengan bahan bakar dengan nilai kalor
sebesar 4.120 kcal/ kg. Namun karena sering batubara yang tersedia mempunyai
nilai kalor yang lebih rendah serta moisture yang lebih tinggi, maka hasil heat
rate PLTU Labuan lebih tinggi dari nilai desain. Hal tersebut berarti efisiensi
PLTU lebih rendah dari desain, dan biaya pemeliharaan meningkat.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka saat ini
di PLTU Labuan sedang dipasang peralatan untuk uji coba alat pengering batubara
(coal drier) dengan sistem memanfaatkan fluida panas dari pembakaran batubara
pada tungku cyclone burner. Kapasitas desain coal drier PLTU Labuan tersebut
adalah sebesar 200 ton perjam, atau 1,4 juta ton per tahun. Kapasitas tersebut diharapkan dapat melayani
1 unit PLTU Labuan (315 MW).
- Prototype Alat Pengering Batubara PLN Puslitbang
Pada tahun 2011 para peneliti dari PLN Puslitbang
Ketenagalistrikan berhasil membangun dan mengoperasikan alat pengering batubara
skala laboratorium dengan kapasitas 1 ton batubara per jam. Proses
pengeringan menggunakan gas buang (flue gas) dengan tujuan mengurangi resiko
terbakar sendiri (self combustion) dan
memanfaatkan panas dari gas buang tersebut.
Pada uji coba pengeringan
dengan temperatur flue gas 150 oC, diperoleh kenaikan nilai kalor
sebesar 500 – 600 kcal/kg, sedangkan jika temperature pengeringan dinaikkan
menjadi 160 oC diperoleh kenaikan nilai kalor hingga 900 kcal/kg.
Dengan
keberhasilan tersebut direncanakan dapat dilakukan ujicoba untuk membangun alat
yang sama dengan kapasitas yang lebih besar di lapangan.
- Uji Coba Pengering Batubara di BPPT
Pada tahun 2011 di laboratorium BPPT di Serpong
dilakukan uji coba skala laboratorium alat pengering batubara. Alat yang
merupakan produksi luar negri tersebut tersebut adalah Steam Tube Drier yang
memakai uap air sebagai pemanas. Uap air tersebut dialirkan pada pipa-pipa yang
terdapat pada tabung berputar yang diisi batubara. Di luar negri produk alat
tersebut telah beroperasi dan dipakai baik pada pembangkit listrik maupun
cooking coal.
Steam tube drier BPPT |
Penutup
Pada
dasarnya suatu PLTU haruslah beroperasi dengan bahan bakar batubara yang sesuai
dengan desain boilernya. Dengan demikian prioritas utama yang harus
dilaksanakan adalah mencari batubara yang sesuai dengan spesifikasinya.
Meskipun harga batubara tersebut lebih mahal dibandingkan dengan harga batubara
kalori rendah. Namun tetap akan lebih menguntungkan, karena jika PLTU
mempergunakan bahan bakar dengan kalori rendah dan (atau) kadar air melebihi spesifikasinya
maka akan menimbulkan kerugian kapasitas dan efisiensi turun, emisi CO2 dan SO2
naik, biaya pemeliharaan akan meningkat, demikian juga time between failure
akan turun.
Namun jika
batubara dengan nilai kalor dan kadar air yang sesuai desain tidak dapat
diperoleh, maka langkah berikut yang bisa dilakukan adalah dengan teknologi pengering
batubara. Teknologi tersebut akan menguntungkan dibandingkan dengan membangun
PLTU dengan desain batubara dengan kalori lebih rendah. Karena PLTU dengan
nilai kalori bahan bakar batubara yang lebih tinggi, maka kapasitas dan
efisiensi pembangkit naik, harga pembangkit per MW lebih murah, serta biaya
pemeliharaan akan rendah.
Mengingat
saat ini belum banyak terdapat Coal Drier pada PLTU, baik di dunia maupun di
Indonesia. Maka perlu dilakukan uji coba teknologi coal drier pada berbagai
pembangkit, khususnya pada PLTU yang diperkirakan sulit mendapat batubara
sesuai dengan desainnya. Teknologi dalam negri yang sudah ada, termasuk dengan
kapasitas kecil dapat diterapkan pada berbagai PLTU skala kecil yang ada.
Dengan demikian jika uji coba pada pembangkit berkapasitas kecil berjalan
dengan baik, maka langkah berikutnya dapat dilakukan scale-up secara bertahap
untuk PLTU dengan kapasitas yang lebih besar.
Jakarta, 30 Januari 2013
------------------------------
Artikel Terkait Lainnya :