“Menulislah, Maka Kamu
Akan Kaya” , adalah judul dari buku karangan Salman El Bachri yang terbit tahun
2008. Ternyata saya sudah punya buku itu sejak bulan Nopember tahun 2008, jadi
sudah hampir lima tahunlah umurnya. Memang waktu dulu membelinya hanya saya
baca sepintas-sepintas. Belakangan waktu saya buka-buka lemari buku tersebut saya
temukan dan coba dibaca lagi.
Karena judulnya
profokatif gitu saya jadi ingin juga membuktikannya, ini benar-benar kenyataan,
atau hanya omong kosong. Karena bicara tentang orang kaya, kan yang paling
gampang diingat si George Soros, lalu ada Warren Buffet, atau yang baru
meninggal Steve Jobs. Yang pertama dan kedua karena sejak kecil berinvestasi
saham dan secara konsisten menarik keuntungan. Sedangkan Steve Jobs karena
talenta luar biasa dalam teknologi informasi serta mampu mengelolanya menjadi
asset bisnis yang spektakuler.
Tapi dari nulis ? Kok
bisa kaya ya ? Di bukunya Salman El
Bachri ngasih contoh-contoh penulis terkenal yang memang kaya dari menulis
tersebut. Ada nama-nama Andrea Hirata yang menulis buku Laskar Pelangi yang
dihitung-hitung punya penghasilan milyaran rupiah, ada Habiburrahman
El-Shirazy, dan masih banyak lagi. Dari luar negeri mungkin kita bisa ambil
contoh terkenal J.K Rowling. Yang ngarang serial Harry Potter. Pastilah
royaltynya seabreg-abreg sampai kekayaannya menyamai kekayaan ratu Elizabeth.
Lihat aja filem Harry Potter kan keren banget. Saya sudah berkali-kali nonton,
dulu di bioskop. Sekarang kalau diputar ulang di TV masih saya tonton, sampai
anak saya ngetawain, kok bapak-bapak menjelang kakek-kakek hobbynya nonton
filem anak kecil.
Saya coba ingat-ingat
atau “flash-back” pengalaman hidup. Saya sendiri kan bisa disebut
sebagai penulis, artinya punya tulisan dan lumayan sering dipublikasikan.
Apakah saya termasuk orang kaya kaya sebagai penulis ? Ternyata memang banyak
juga syaratnya supaya bisa kaya dari menulis, antara lain ya tulisannya harus
laku, harus produktif, harus konsisten menulis dan sebagainya. Tapi paling
tidak banyak keuntungan dari menulis, kita bisa belajar, meningkatkan ilmu,
melatih berpikir cepat dan logis, memperkaya batin. Jadi kaya itu pasti, paling
tidak kaya ilmu dan kaya batin.
Pertama kali pengalaman
saya menulis waktu kuliah di ITB, pada tahun 1981 saya mulai harus menyiasati
bagaimana mencari uang mengingat kesulitan orang tua membiayai kuliah. Saya coba untuk jadi asisten dosen dan dapat
honor. Melamar jadi pengajar bimbingan test tapi belum diterima. Saya coba
untuk menulis, kan di Surat kabar “Pikiran Rakyat” Bandung ada rubrik Ilmu dan
Teknologi. Eh, ternyata tulisan yang saya kirimkan dimuat. Honornya sebesar Rp
8.500,-. Sangat lumayan pada masa itu.
Karena uang SPP (uang kuliah) di ITB saat itu hanya Rp 16.000,- per semester.
Jadinya saya semangat
untuk menulis, topiknya umumnya tentang pengetahuan dan teknologi, karena
bahan-bahannya bisa saya cari di perpustakaan ITB. Paling sering saya nulis
tentang energi alternative. Kan menarik dan bisa dibuat banyak tulisan. Mulai
dari energi surya, lalu energi bahan organic, energi fotovoltaik. Ada lagi energi
gradient garam yang juga merupakan turunan energi surya. Energi dari panas
lautan, energi nuklir. Kelangkaan energi. Macam-macamlah, pokoknya saya
berusaha dalam sebulan minimal dua atau tiga tulisan saya dimuat di koran.
Ditambah dari honor sebagai asisten di laboratorium sehingga cukuplah membiayai
hidup dan bayar uang kuliah.
Memang karena
motivasinya untuk “survive” maka proses kreatif saya terus mengalir dan
menghasilkan berbagai tulisan. Waktu kuliah ilmu logam kan saya diajari oleh
Prof. Tata Surdia tentang proses
Quenching, Normalizing dan Tempering. Jadi dari kuliah itu timbul inspirasi
saya dan lalu lahir tulisan yang berjudul “Pengerasan Baja Tradisional Perlu
Bimbingan” yang membahas proses pandai
besi menempa golok, mencelupkannya di air sebagai proses pengerjaan logam di
atas. Tulisan tersebut menembus dan dimuat di harian “Sinar Harapan” dengan
mendapat honor yang lumayan.
Ada lagi tulisan saya
yang berjudul “Mengenal Sistem Tenaga Hidraulik”, tulisan itu muncul setelah
saya belajar tentang mesin pres hidraulik yang menjadi topic tugas akhir. Atau
topic-topik yang agak berbau “politik” saya peroleh dari diskusi dengan
teman-teman sesama aktifis mahasiswa. Judul tulisan itu misalnya :
“Ketergantungan Teknologi”, “Perusahaan Multinasional dan Negara Berkembang”,
serta “Kelompok Diskusi Non Struktural”.
Saya juga berhasil
memasukkan tulisan saya di “Suara Karya” dan “Suara Indonesia”, dan yang paling
sering selain di “Pikiran Rakyat” , saya menjadi “penulis tetap” di Buletin
kampus “Berita ITB”. Jadi sejak dulu saya kenal baik dengan Pak Nur Pamudji
,sekarang Direktur Utama PLN, karena beliau dulu adalah redaktur pelaksana
“Berita ITB”.
Beberapa kali saya coba
kirim tulisan ke harian “Kompas”, tapi tidak berhasil dimuat dan dikembalikan
dengan beberapa saran. Waktu itu saya nulis tentang energi nuklir, terang aja
kalah, saingannya Pak Nengah Sudja, Direktur PLN LMK, yang saat itu berani men-“challenge” rencana pemerintah
membangun PLTN . Karena sulit menembus “Kompas” jadinya saya mengandalkan
tulisan ke media cetak lain yang dapat secara rutin menerima tulisan saya.
Boleh dibilang saya kapok ngirim tulisan
ke “Kompas”.
Walhasil memang dari
menulis saya bisa membiayai hidup dan kuliah. Termasuk juga senangnya waktu
hari Sabtu bersama pacar ngambil honor ke kantor “Pikiran Rakyat” di jalan
Asia-Afrika. Uang honor tersebut lalu dipakai malam mingguan untuk nonton
bioskop dan makan sate dan soto sulung di Simpang Dago. Rasanya benar-benar jadi
orang kaya, dan itu semua didapat dari menulis.
Pada tahun 1983 saya
pernah memasukkan surat lamaran ke majalah “Tempo” yang saat itu sedang mencari
reporter. Saya mengirimkan contoh tulisan dan diwawancarai. Akhirnya sebanyak
sekitar 15 orang dari kami yang melamar dikumpulkan di kantor “Tempo” di Senen
Jakarta Pusat, siap untuk bekerja dan ditugaskan. Tapi saya tidak jadi bekerja
di Koran “Tempo”. Seingat saya saat itu redaktur “Tempo” pak Karni Ilyas, benar
yang sekarang ngetop dengan Indonesia Lawyer Club di TV One, bilang :
“saudara-saudara kan sekarang siap bekerja, jadi yang masih kuliah silahkan
tinggalkan kuliah dan bekerja 100 persen”. Waduh, saya tidak siap meninggalkan
kuliah, cita-cita dan janji saya ke orang tua kan mau jadi insinyur. Jadi saya
gagal menjadi reporter “Tempo”.
Dari menulis saya juga
menjadi juara ke dua lomba menulis bagi mahasiswa ITB, juara satunya Umar Juoro,
aktivis mahasiswa ITB yang dari jurusan Fisika Murni. Tapi kemudian membelot
dari jurusan Fisika dan menjadi Doktor Ekonomi. Sekali-sekali saat ada isu yang
hangat perekonomian kita suka muncul di TV dan menjadi narasumber. Saya juga
menjadi juara katagori produktivitas menulis saat Lustrum ITB karena jumlah
tulisan saya yang dimuat di media massa paling banyak. Pastilah produktivitas
saya juara, kan menulis saat itu merupakan profesi untuk hidup.
Akhirnya pada tahun
1984 saya menerima beasiswa ikatan dinas dari PLN. Bagi saya nilainya sangat
besar, yaitu sebesar Rp 60.000,- per bulan. Dengan uang sebesar ini saya bisa
“hidup mewah”, dan tidak perlu lagi menulis di media massa untuk mendapat
honor. Uang sebesar itu juga dapat menjadikan saya focus untuk menyelesaikan
kuliah dan mengerjakan tugas akhir. Tapi efek samping nya proses kreatif saya
berkurang. Selanjutnya saya hanya sporadic menulis, termasuk juga selama
bekerja di PLN, pastilah jarang menulis. Meskipun memang beberapa kali ada
kalanya saya menulis dan dimuat di “Berita PLN”. Atau di berbagai bulletin PLN
Unit. Tapi sifatnya bukan dengan tujuan untuk memperoleh honor, meskipun
rasanya senang sekali saat dapat honor. Paling tidak merasa memperoleh
penghargaan. (ya iyalah, honor kan artinya penghargaan, jadi dapat honor berarti
dapat penghargaan atas karya kita).
Sebagai penutup, kita
kembali pada bukunya Salman, “menulislah, maka kamu akan kaya” ?. Benarkah pernyataan tersebut ? Paling tidak
dari pengalaman hidup saya, dari menulis bisa membiayai hidup, bisa membiayai
kuliah, bahkan bisa pacaran. Dari menulis saya bisa mendapat penghargaan. Jadi
memang cukup banyak manfaat menulis itu. Mungkin manfaat-manfaat tersebut bisa mendukung
pernyataan bahwa kita bisa kaya dari menulis.
Untuk kaya raya secara
materi seperti J.K Rowling atau Andrea Hirata, mungkin ada syarat tambahan berupa
usaha dan passion yang kuat. Dan karena passion saya saat itu hanya sekedar “survive”,
bisa hidup dan bisa menyelesaikan kuliah, maka saya memperolehnya sesuai tingkat
usaha dan “passion” yang saya miliki. Karena setelah mendapat “penghasilan
tetap” dari beasiswa ikatan dinas, prioritas dan Passion saya berubah, bukan
lagi untuk menulis, namun beralih pada pekerjaan rutin.
Demikianlah sekedar
sharing pengalaman hidup. Mudah-mudahan dapat berguna.
Jakarta, 2
September 2013
----------------------------