Rabu, 13 Februari 2013

PROSPEK ENERGI LISTRIK DARI LAUTAN



Lautan dapat menghasilkan aneka sumber energi. Disamping pertambangan minyak di lautan, dewasa ini orang juga mengembangkan sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui dari potensi lautan (renewable ocean energy).
Untuk itu terdapat 3 jenis sumber energi utama dari lautan yang bersifat terbarukan (renewable), yaitu  :
1.   Konversi Energi Panas Lautan (Ocean Thermal Energy Conversion, OTEC),
2.   Energi Pasang Surut (Tidal Energy),   dan
3.   Energi Gelombang (Ocean Wave Energy).
Disamping ketiga jenis sumber energi utama tersebut di atas, dari lautan juga dapat dikembangkan energi panas bumi lautan (ocean geothermal, biomassa lautan (marine biomass), angin lepas pantai (off-shore wind), arus lautan (ocean current), gradien garam (salinity gradient) serta kolam surya (solar pond).
Konversi Energi Panas Lautan (OTEC),
Dari berbagai potensi energi di atas, OTEC merupakan potensi energi yang sangat menarik perhatian. Prinsip dari pemanfaatan energi pada OTEC adalah berdasarkan terdapatnya perbedaan temperatur air laut di berbagai lapisannya. Di daerah tropis misalnya, perbedaan antara suhu air laut di permukaan dan di dasar laut dapat mencapai sekitar 25 derajat Celcius, yaitu pada kedalaman 500 meter di bawah permukaan laut. Sehingga jika temperatur di permukaan laut sekitar 35 o C, suhu sebesar 35 oC tersebut telah dapat dipakai untuk menguapkan suatu cairan yang mempunyai titik didih yang rendah seperti propane. Uap dari cairan yang menguap tersebutlah yang mengembang dengan cepat memberikan tekanan yang besar untuk memutar sebuah turbin. Turbin tersebut kemudian dipakai untuk memutar generator pembangkit tenaga listrik.
Gagasan untuk memanfaatkan perbedaan suhu air laut tersebut pertama kalinya diusulkan oleh Jacques D’Arsonval ,seorang sarjana fisika Prancs, pada tahun 1881. Dalam hal ini D’Arsoncal menyarankan pmenggunakan panas air laut di permukaan untuk menguapkan cairan kerja (working fluid) seperti amonia. Sedangkan untuk mencairkannya kembali, dipompa air dingin ke atas dari kedalaman 1000 meter. Siklus penguapan dan pencairan kembali tersebut akan berulang. Dalam siklus tersebut dipakai evaporator (untuk menguapkan) dan Condensor (untuk mencairkan). Kedua peralatan tersebut dalam ilmu konversi energi biasa disebut sebagai penukar panas (heat exchanger).
Gambar skematis OTEC
Konsep OTEC dari d’Arsonval tersebut pengujiannya dilakukan oleh seorang mahasiswanya ,George Claude. Sedangkan pada tahun 1930 orang berhasil membuat sebuah pembangkit tenaga lisrik OTEC berkapasitas 22 kW di lepas pantai Kuba.
Amerika serikat memulai penelitian OTEC pada tahun 1974, di Pantai Kona, Hawaii. Laboratorium itu merupakan fasilitas penelitian OTEC terbesar di dunia. Hawaii mempunyai  permukaan lautnya yang hangat serta laut dalam yang dingin sehingga cocok untuk pengembangan  OTEC.  Sedangkan Jepang mengembangkan OTEC di Nauru yang menghasilkan 120 kW listrik. Untuk meningkatkan efisiensinya pembangunan instalasi OTEC direncanakan dapat dikembangkan bersama proyek-proyek lain seperti   budidaya lautan dan penyediaan air tawar. 
Energi Pasang Surut (Tidal Energy
Energi pasang surut memanfaatkan sifat lautan yang tinggi permukaannya berbeda pada waktu pasang dan pada waktu surut. Di Prancis, Rusia, Inggris dan Kanada, misalnya, diketahui perbedaan tersebut mencapai 10-16 meter dan terjadi 2 kali setiap harinya. Secara umum agar suatu daerah dapat dimanfaatkan atau dibangun pembangkit listrik tenaga pasang surut (PLTPS) adalah jika terdapat perbedaan antara pasang dan surut minimal 7 meter.
Setelah diperoleh lokasi dengan yang memenuhi syarat beda ketinggian tersebut, maka dicari semacam teluk yang dibuat bendungan di mulutnya sehingga terbentuk waduk penampung air laut. Waduk tersebut dilengkapi dengan saluran untuk menerima air pada saat pasang dan dilengkapi pintu. Pada saat pasang air dari laut mengalir ke waduk tersebut melewati turbin air (sama seperti PLTA) dan menggerakkan generator dan menghasilkan listrik. Demikian juga pada saat surut air kembali ke laut dan menggerakkan turbin.

Gambar turbin bulb (Energy authority of NSW)
PLTPS La Rance, Britanny, Prancis

Dewasa ini Pusat Listrik Tenaga Pasang Surut (Tidal Power Plant) di Muara Sungai La Rence, Prancis, berkapasitas 240 MW dan mulai beroperasi pada tahun 1966. Beda ketinggian antara pasang dan surut adalah 8 m.
Sedangkan PLTPS terbesar kedua di dunia terletak di Annapolis, Nova Scotia, Kanada dengan kapasitas  16 MW   (dari www.  ASELI). PLTPS ini menghasilkan listrik sebesar 30 juta kWh per tahun dengan beda ketinggian 10,3 meter. PLTPS lain dengan kapsitas yang lebih kecil di Kislaya Bay, Rusia (0,4 MW beda tinggi air 2,4 m) dan Jiangxia , China ( 3,2 MW, beda tinggi 7,1 m).
skematis PLTPS La Rance
Energi Gelombang (Ocean Wave Energy).
Sedangkan pemanfaatan energi gelombang lautan bertitik tolak dari terdapatnya gerak air laut yang bergelombang. Gerak gelombang tersebut dapat dikonversikan (diubah) menjadi gerak translasi naik turun, yaitu dengan memakai mekanisme beban dan rakit. Rakit dihubungkan dengan suatu kabel yang melewati katrol dengan beban pemberat. Katrol tersebut digantung pada sebuah dok tetap, sehingga dengan adanya gerak vertikal naik turun dari rakit, katrol akan berotasi (berputar pada sumbunya), yang selanjutnya dihubungkan untuk menggerakkan generator listrik.
Masalah utama dalam pemanfaatan energi gelombang tersebut terletak pada masalah sukarnya penyimpanan energi yang dihasilkan. Disamping itu juga sejauh ini tingkat efisiensi yang dicapai oleh peralatan pengubah energi (converter) masih sangat rendah. Meskipun konsep sistem nya cukup sederhana, namun mewujutkannya dalam rancangan teknik dan instalasi di lapangan tidak mudah.
Berdasarkan sejarah, pemanfaatan  PLTGL  telah dilakukan sejak abad ke-18 oleh  Girard dan anaknya dari Prancis. Selanjutnya pada 1919, Bochaux-Praceique telah memanfaatkan gelombang laut untuk menggerakkan alat pembangkit listrik untuk penerangan rumahnya di Royan, Prancis.
Secara global penelitian dan pemanfaatan potensi energy gelombang laut cukup banyak dilakukan. Di Inggris misalnya antara tahun 1855 sampai 1973 tercatat sekitar 340 paten mengenai teknologi pemanfaatan gelombang laut.  Dari berbagai teknologi pemanfaatan gelombang laut tersebut tercatat 2 teknologi yang banyak dikembangkan, yaitu teknologi Oscillating Water Column dan teknologi Tapered Channel (Tapchan).



Oscillating Water Columb

Teknologi Tapered Channel

Pada teknologi oscillating water column. pembangkitan tenaga listrik dengan melalui 2 tahapan proses. Tahapan pertama, gelombang laut datang menekan udara pada kolom air yang diteruskan ke kolom atau ruang tertutup yang terhubung dengan turbin generator, tekanan udara tersebut menggerakkan turbin generator dan menghasilkan listrik.  Selanjutnya saat gelombang laut meninggalkan kolom air, akan diikuti oleh gerakan menghisap udara dan juga menggerakkan turbin generator pembangkit listrik.

Pada tek­no­logi Tapered Channel (Tapchan), gelombang laut yang datang disalurkan memasuki sebuah saluran runcing yang berujung pada sebuah bak penampung yang diletakkan pada sebuah ketinggian tertentu. Air laut yang berada pada bak penam­pung dikembalikan ke laut melalui saluran yang terhubung dengan turbin generator penghasil energi listrik. Adanya bak penampung maka air penggerak turbin dapat beroperasi secara terus menerus meskipun besar gelombang laut berubah-ubah.
Prospek Pengembangan
Bagi Indonesia potensi untuk dapat memanfaatkan sumberdaya energy lautan di masa mendatang cukup memperlihatkan prospek yang baik.  Hal itu mengingat Indonesia adalah Negara dengan lebih dari 13.000 buah pulau, serta sebagian besar wilayah yang terdiri dari lautan. Panjang garis pantai Indonesia adalah sebesar 81.000 km.
Untuk mengembangkan OTEC misalnya persyaratan beda suhu sebesar 20 0 C  akan mampu dipenuhi Indonesia yang terletak antara 6 0 Lintang Utara dan 11 0 Lintang Selatan, karena air di permukaan laut yang panas di wilayah antara 30 0 LU dan 30 0 LS umumnya dapat mempunyai perbedaan suhu sampai 20 0 C dengan suhu di kedalaman. Disamping itu syarat OTEC yang mengharuskan terletak tidak jauh dari pantai juga dapat dipenuhi. Sejauh ini daerah-daerah yang diketahui memiliki potensi untuk pengembangan OTEC adalah : Lautan Hindia, Laut Banda, Laut Flores, Laut Sawu, Laut Sulawesi, Laut Maluku , serta Lautan Pasific di Utara Papua.
Potensi lainnya adalah pada pengembangan energy pasang surut. Di sejumlah lokasi perairan Indonesia terdapat beberapa tempat yang memenuhi persyaratan beda ketinggian antara saat pasang dan saat surut sebesar 5 meter, antara lain : Pantai Selatan Jawa, Bagan Siapi-api, Teluk Palu, Teluk Bima dan Papua.
Jakarta, 13 Februari 2013
---------------------------

Selasa, 05 Februari 2013

BAGAIMANA MENCARI LOKASI UNTUK PLTA SKALA KECIL ?

Silahkan Klik Topik Lainnya :


Pada dasarnya pengembangan PLTA Skala kecil lebih sederhana daripada proses pengembangan PLTA, baik PLTA Skala besar maupun PLTA skala menengah. Pengembangan sumber energi PLTA skala kecil dapat berasal dari saluran irigasi, sungai atau air terjun alam. Syarat minimum pengembangan PLTASK tersebut adalah terdapatnya tinggi terjun (head) dan debit air.
Pada PLTASK  potensi air untuk membangkitkan tenaga listrik biasanya merupakan jenis run-off river yang tidak diperoleh dengan membangun bendungan besar untuk menaikkan permukaan air, namun hanya dengan mengalihkan sebagian aliran air sungai melalui saluran pembawa sehingga diperoleh tinggi jatuh atau head yang memadai. Hal tersebut mengingat jika kenaikan permukaan air diperoleh dengan membuat bendungan, maka akan memerlukan lokasi luas yang harus dibebaskan untuk menjadi genangan atau waduk. Proses pembebasan tanah adalah proses yang mahal dan sangat kompleks, sehingga harus dihindari. Bahkan untuk pembangunan PLTA skala menengah saat ini biasanya diusahakan merupakan jenis aliran langsung (run-of river).
Selanjutnya air tersebut dialirkan melalui pipa pesat untuk memutar turbin air yang berada di dalam rumah pembangkit (power house). Energi mekanik tersebut diubah menjadi energi listrik oleh sebuah generator.
Agar pengembangan dan pembangunan suatu PLTA Skala kecil dapat diimplementasikan secara teknis dan ekonomi, mengingat pembangunan suatu PLTA meskipun berukuran kecil, merupakan kegiatan investasi dengan pembiayaan yang cukup besar, maka sebelum diambil keputusan untuk membangun suatu pembangkit listrik tenaga air, harus dilakukan studi yang menyeluruh untuk menilai apakah pembangunan pembangkit listrik tersebut layak secara teknis dan ekonomis. 
Studi tersebut juga harus memperhitungkan faktor-faktor lingkungan dan sosial politis.  Hal tersebut juga terkait erat dengan pemanfaatan sumber daya air yang merupakan sumberdaya milik bersama.  Identifikasi kelayakan pembangunan pembangkit listrik tersebut dimulai dengan tahap penjajakan awal atau prastudi kelayakan.
Hasil prastudi kelayakan atau studi potensi tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan melaksanakan melaksanakan evaluasi kepada pengguna atau pengembang pembangkit listrik tersebut, dengan berkonsultasi pada penyandang dana karena pada dasarnya semua pembangunan pembangkit harus layak secara ekonomis. Dengan demikian pada tahap prastudi kelayakan biasanya ada beberapa opsi atau skema pembangunan dengan konsekwensi dari masing-masing opsi yang ditawarkan.  Demikian juga pada tahap studi kelayakan opsi-opsi tersebut telah lebih tajam lagi disajikan dengan perhitungan biaya dari masing-masing opsi. Jika tahap studi kelayakan menyatakan bahwa suatu proyek layak dan dipilih suatu opsi, maka dilanjutkan dengan tahap pembuatan desain rinci dari instalasi pembangkit tersebut, meliputi instalasi sipil, sistem elektrikal mekanikal, sistem kontrol, transmisi dan distribusi.
Dengan demikian tahap-tahap kegiatan pembangunan suatu pembangkit listrik skala kecil sejak dari adanya ide untuk membangun PLTASK sampai pembangkit beroperasi, secara garis besar dibagi atas 5 tahapan sebagai berikut :
1.      Tahap-1, Penjajakan awal/ identifikasi lokasi/ Pre Feasibility Study
2.      Tahap-2, Studi Kelayakan (Feasibility Study)
3.      Tahap-3, Desain Teknis dan persiapan pembangunan
4.      Tahap-4, Pelaksanaan Pembangunan Fisik
5.      Tahap 5, Pengoperasian, Pemeliharaan dan Pengelolaan
Pemilihan Lokasi Dan Layout Dasar PLTM
Pada dasarnya tujuan pembangunan Pembangkit Listrik adalah untuk memperoleh tenaga listrik. Khususnya untuk Pusat Listrik Tenaga Air, maka energi yang dimanfaatkan adalah energi potensial air yang selanjutnya dikonversi menjadi energi mekanik pada turbin dan menggerakkan generator untuk menghasilkan energi listrik.
Potensi energi potensial akan semakin besar dengan semkakin tingginya jatuhan air serta semakin besar debit aliran air. Dengan demikian pada pemilihan lokasi PLTSK pertimbangan utama adalah bagaimana memperoleh tinggi jatuh serta debit air yang sebesar-besarnya untuk diubah menjadi tenaga listrik. Untuk memperoleh tinggi head yang cukup memadai maka lokasi PLTASK dicari pada lokasi yang secara geografi dan topografi memungkinkan diperoleh tinggi jatuh sebesar-besarnya. Tinggi jatuh tersebut juga dapat diperoleh dengan cara membangun bendung aliran sungai sehingga permukaan sungai naik dan dapat dialirkan melalui intake.
Dengan demikian penentuan lokasi pembangunan PLTASK bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal tersebut mengingat lokasi yang menyediakan head yang cukup tinggi sangat terbatas. Tidak jarang jika lokasi yang memiliki head tinggi tersebut ditemukan, ternyata lokasinya jauh dari pusat beban dan permukiman sehingga memerlukan pembangunan jaringan transmisi yang mahal akibat kesulitan konstruksi serta banyaknya material yang diperlukan. Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi mencakup juga kondisi geografi, keadaan tanah, batuan serta karakteristik sungai.
Lay out sebuah sistem pembangkit listrik tenaga air merupakan suatu rencana dasar pada pembangunan PLTA. Lay out menggambarkan rencana dasar untuk mengalirkan air sungai dari intake, melewati saluran pembawa, bak pengendap, bak penenang, pipa pesat, turbin dan kembali ke sungai setelah melalui saluran pembuangan akhir (tailrace). Dalam penyusunan layout tersebut selain memperhitungkan faktor-faktor teknis, faktor ekonomi juga harus dihitung.
Aliran air mulai dari intake tersebut melalui saluran pembawa berupa kanal saluran terbuka maupun pipa pesat. Mengingat secara umum biaya pembuatan pipa pesat lebih mahal dibandingkan saluran pembawa, diusahakan agar dalam layout PLTASK tersebut pipa pesat sependek mungkin dengan memperpanjang saluran terbuka.
Pendekatan (approach) yang diambil dalam penyusunan lay out PLTASK secara umum adalah sebagai berikut :
1.      Air dari lokasi intake dialirkan melalui pipa pesat sampai ke turbin. Jalur pipa pesat dibuat sedemikian rupa mengikuti aliran air, atau paralel terhadap aliran sungai. Metoda ini dibuat sebagai pilihan jika kondisi medan yang ada tidak memungkinkan untuk dibuat kanal saluran terbuka. Pipa pesat juga harus aman terhadap banjir.
2.      Jalur pipa pesat dapat dibuat langsung dari intake ke turbin tanpa melewati saliuran pembawa mengikuti bentuk sungai. Dengan cara ini pipa pesat akan lebih pendek dibandingkan cara pertama. Metoda ini dipilih jika terdapat kemiringan tanah yang memadai pada jalur pipa pesat yang dipilih.
3.      Jika memungkinkan pembuatan saluran atau kanal pembawa dibuat sampai lokasi tertentu sehingga selanjutnya dilanjutkan dengan pipa pesat sampai ke turbin. Dengan metoda ini maka jalur pipa pesat akan sangat pendek. Panjang saluran terbuka serta kondisi tanah perlu diperhitungkan dengan baik. Karena saluran pembawa yang panjang juga akan memerlukan perawatan untuk mempertahankan kondisinya. Jika kondisi tanah labil dan miring maka akan menyulitkan dan biaya konstruksi mahal.
Lokasi Bangunan Penyadap (Intake).
Secara umum pada PLTA Skala Kecil merupakan PLTA jenis Run-off River, sangat jarang yang mempergunakan bendungan besar (dam). Konstruksi bangunan penyadap (intake) biasanya mengambil air langsung dari sungai dan tidak dilengkapi oleh waduk atau reservoir. Agar laju aliran air sungai dapat diarahkan sehingga mengalir ke saluran pembawa, maka biasanya hanya dibvangun bendung (weir) yang melintang sepanjang lebar sungai. Skema lain dapat juga dilakukan dengan langsung membagi aliran air sungai tanpa dilengkapi bangunan bendung.  Mengingat pentingnya fungsi bangunan penyadap maka lokasinya harus dipilih secara cermat dengan memperhitungkan persyaratan-persyaratan teknis dan aspek finansial.
Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam penentuan lokasi intake adalah sebagai berikut :
1.       Kondisi dasar sungai.
2.       Bentuk sungai
3.       Kondisi alam di sekitar sungai.
4.       Pertimbangan pemanfaatan air sungai.
5.       Kemudahan pencapaian lokasi.
Kondisi dasar sungai.
Dalam penentuan lokasi bangunan penyadap atau intake harus dibangun pada daerah dengan dasar sungai yang stabil , yang biasanya terdapat pada lokasi dasar sungai dengan kemiringan kecil. Kestabilan pada lokasi sangat diperlukan mengingat debit aliran air yang mengalir selalu bervariasi sepanjang tahun, khususnya pada saat kondisi debit air sedang  tinggi atau saat banjir maka bangunan penyadap (intake) akan terbebani oleh gaya yang sangat besar. Jika bangunan penyadap tersebut tidak berada pada lokasi yang stabil maka sangat berisiko untuk runtuh akibat erosi.
Pada kondisi intake yang tidak memungkinkan diperoleh lokasi dasar sungai yang stabil maka konstruksi intake tersebut harus dilengkapi bendung untuk menjaga ketinggian permukaaan air sungai.
Bentuk Aliran sungai
Dalam penentuan lokasi bangunan penyadap (intake) harus memperhitungkan bentuk dan karakteristik aliran sungai, khususnya karakteristik sungai pada saat banjir. Adanya banjir sering menjadi penyebab rusaknya bangunan penyadap. Misalnya pada intake yang ditempatkan di sisi luar sungai yang berbentuk belokan.  Pada bagian sisi luar belokan sungai sering terjadi erosi serta rawan pada saat banjir. Pada saat banjir maka berbagai material seperti batu-batuan, batang pohon dan lain-lain akan terbawa banjir dan mengarah pada bagian sisi luar belokan sungai.
Sedangkan pada sisi bagian dalam sungai yang berbelok juga rawan karena merupakan tempat terjadinya pengendapan material lumpur dan pasir (sedimentasi), dengan demikian lokasi ini juga tidak cocok untuk lokasi intake. Untuk itu maka lokasi intake sedapat mungkin dipilih pada bagian sungai yang relatif lurus yang memungkinkan aliran air yang memasuki intake secara alami dan stabil dengan membawa beban (bed load) yang kecil.
Kondisi alam di sekitar sungai.
Pada pemilihan lokasi intake sedapat mungkin diambil lokasi yang memungkinkan lokasi tersebut terlindung secara alamiah jika terjadi banjir, misalnya adanya batu-batu besar yang menggunduk menjadi “pulau-pulau” dapat dimanfaatkan sebagai pelindung bangunan intake pada saat banjir, karena batu-batubesar tesebut dapat membatasi dan menahan laju aliran air dan material yang mengalir pada saat banjir.
Pertimbangan pemanfaatan air sungai.
Dalam penentuan lokasi intake atau lokasi PLTASK secara umum harus mempertimbangkan kondisi penggunaan atau pemanfaatan air sungai, karena sumber daya air sungai tersebut juga dimanfaatakan untuk keperluan lain seperti sebagai irigasi, sumber baku air minum maupun untuk pariwisata. Sedapat mungkin jika sungai yang sama juga telah atau akan dimanfaatakan untuk keperluan lain selain PLTASK maka harus dipilih pada lokasi yang sesedikit mungkin menimbulkan pengaruh pada sektor-sektor lain.
Biasanya pemanfaatan air sungai untuk keperluan pembangkit listrik merupakan kompromi dari berbagai keperluan tersebut. Untuk itu dalam pengembangan PLTASK dan tenaga air pada umumnya peran pemerintah setempat sangat besar yang akan mengatur penggunaan serta perijinan pemanfaatan air sungai.
Kemudahan pencapaian lokasi.
Lokasi yang dipilih juga harus memperhitungkan kemudahan untuk mencapainya (assessabilitas). Hal tersebut diperlukan pada saat konstruksi serta tahap operasi dan pemeliharaan. Lokasi medan yang sulit dicapai dapat menghambat pelaksanaan konstruksi khususnya akan menambah biaya pembangunan membengkak. Demikian juga pada tahap operasi pemeliharaan juga harus memperhitungkan kemudahan pencapaian. Pada saat kondisi banjir misalnya, maka pemantauan kondisi intake harus lebih intensip sehingga jika terjadi kerusakan atau tersumbatnya intake akibat material banjir yang hanyut, akan cepat dapat diatasi sehingga tidak mengganggu operasi pembangkit listrik.
Lokasi Rumah Pembangkit (Power House)
Pemilihan lokasi rumah pembangkit pada dasarnya adalah bagaimana untuk mendapatkan head atau tinggi jatuh yang maksimum sehingga akan dapat dihasilkan daya dan energi listrik yang sebesar-besarnya dari PLTASK. Dengan demikian maka lokasi rumah pembangkit diusahakan pada elevasi yang serendah mungkin. Namun dalam pelaksanaannya juga harus diperhitungkan faktor-faktorlain yang harus dikompromikan agar fungsi rumah pembangkit tersebut terpenuhi, juga keamanan dan kekuatan konstruksi rumah pembangkit terjamin.
Faktor yang harus dipertimbangkan dari sisi keamanan dan konstruksi rumah pembangkit tersebut adalah, misalnya lantai rumah pembangkit harus selalu lebih tinggi daibandingkan permukaan sungai. Dengan demikian data dan informasi ketinggian permukaan sungai pada waktu banjir sangat diperlukan. Hal tersebut dapat diperoleh dari informasi penduduk setempat atau jika ada data pengukuran tinggi permukaan air. Atau secara alamiah dapat dilihat pada lokasi permukaan sungai yang sering terkena banjir jarang ditumbuhi oleh tanaman atau pepohonan.
Selain faktor elevasi rumah pembangkit yang aman dari banjir, saluran pembuangan akhir (tailrace) juga sedapat mungkin dipilih pada tempat yang terlindung dari kondisi alam, misalnya terlindung oleh batu-batu besar. Umumnya ujung dari tailrace yang tersambung ke sungai tidak terletak pada sisi bagian luar belokan sungai, karena pada lokasi tersebut pada saat banjir akan mendapat beban yang besar serta memungkinkan air sungai masuk ke rumah pembangkit dan menimbulkan kerusakan.
Jakarta, 5 Februari 2013
------------------------------
Tulisan Terkait Lain :